Terhempas

Sungguh hatiku, tubuhku, ingatanku senantiasa rindu padamu. Rindu ingin bertemu. Bertatap mata dengan mesra, mengulum senyum yang manis-manis saja, membelai tangan yang sama-sama halus ke empatnya dan bercerita tentang pengalaman kerja di kantor kita masing-masing. Segudang tugas, masalah dan desakan atasan yang ingin serba sempurna itu, semuanya akan kita urai satu demi satu. Lalu segalanya akan selesai. Dan kita pun merayakan kepuasan itu dengan bercengkerama sepuas-puas hati di mana saja kita kehendaki. Ya, kita adalah satu sejak dua tahun lalu. Satu untuk mengecap rindu. Satu untuk menempuh hidup.

“Bantariku sayang,” sapamu dengan lembut.

“Ya, Jauhari cintaku.”

“Bukankah sudah saatnya aku harus meminang?”

“Ya, tentu.”

“Lantas apakah lagi yang menghalangi niatku ini ?”

Aku diam sekejab. Kuremas-remas telapak tanganmu penuh bahagia.

“Kita ke rumah bibiku lebih dulu, ya. Dia tinggal di kota ini. Dialah yang merawatku sejak kecil setelah kepergian ibu.”

“Oh ya, mengapa baru sekarang kau bercerita tentangnya.” Tanyamu dengan wajah yang memancar cahaya.

“Baiklah, kita akan menuju ke sana esok hari. Semua pekerjaan kantor harus kita selesaikan secepatnya, biar aman. Okay, sayang.” Aku mengangguk tanda seia.

Maka kami pun berpisah senja itu dalam gemerlap lampu-lampu kota. Kami saling melambai dan berpisah pada jalur yang saling berbeda. Hatiku lega, hatinya juga.

Esok hari kami menemui bibi.

“Bi, Jauhari ingin melamarku.” Aku membuka pembicaraan. Bibi tersenyum manis mendengar pengakuanku.

“Saya senang mendengarnya. Namun kalian harus pergi ke Medan lebih dulu, menemui ayahmu, Bantari ?” Saran bibi.

“Lho, memangnya ayah masih hidup, Bi ?” Jauhari bertanya heran.

“Apa rupanya yang diceritakan Bantari tentang ayahnya ?” balik bibi bertanya. Jauhari segera mengalihkan pandangannya kepadaku. Matanya penuh selidik. Kucoba sedikit menenangkan perasaan. Sebenarnya tak ingin kubuka pada siapapun termasuk pada Jauhari tentang keluarga. Selama dua tahun, kami hanya bercerita tentang pekerjaan dan diri kami sendiri. Tapi kini bagaimana mungkin kuhindari pertanyaan memalukan itu. Jauhari sendiri juga tak pernah mau mengungkap tentang keluarganya kecuali kakak-kakaknya saja. Hidup di kota megapolitan yang serba modern ini, hal-hal privasi kurang etis dipertanyakan, walaupun dia teman dekat sekalipun. Dan kini, semua itu harus diungkap, seperti apapun dia adanya.

“Kau belum bercerita tentang ayahmu Bantari ?” Bibi bertanya lagi. Aku mengangkat bahu. Secara bergantian, ditatapnya kami satu persatu.

“Dan kau pun belum pernah tahu tentang ayah Jauhari ?” ulangnya. Aku mengangguk. Tanpa disangka-sangka bibi tertawa terbahak-bahak.

“Walah-walah,” ujarnya, “kalian ini pacarannya seperti apa sih. Masak sudah dua tahun tidak pernah bicara tentang keluarga. Aneh. Memang aneh anak muda zaman sekarang. Jadi apa yang kalian bahas kalau bertemu ?” Bibi bertanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Pekerjaan.” Kami menjawab hampir serempak. Bibi mengangguk-angguk. Aku melihat mata Jauhari dia pun berbuat hal yang sama.

“Maafkan aku Jauhari, bukan maksudku membohongimu, tapi…” “Tapi apa, Bantari ?” tanyanya penasaran.

“Aku malu dengan ayahku sendiri.” Aku mengaku. Dia terdiam. Begitu juga bibi

“Bibi akan ke Medan dengan kami, kan ?” cepat-cepat kualihkan pertanyaan.

“Ya, tentu. Walaupun aku benci sekali pada ayahmu dan berjanji tidak ingin bertemu dengannya, tapi demi kau, aku mau ke sana. Apalagi kami sekarang sudah sama-sama tua.” Mata Bibi mencoba membuka kenangan tentang ayah dalam pikirannya.

Kulihat ayah lima belas tahun lalu, saat usiaku masih enam tahun. Tubuhnya tinggi tidak seperti orang kebanyakan. Kulitnya putih seperti orang Eropa. Di jari jemarinya penuh dengan cincin dari batu yang berasal dari berbagai aliran sungai di Indonesia. Tapi anehnya, tali pinggangnya cuma satu yang penuh dengan sisik ular. Aku lihat ayah begitu bangga dengan apa yang melekat di tubuhnya.

“Bantari bilang, orang tuamu ada di Medan, juga ya ?” Bibi bertanya sambil memasukkan buah ke mulutnya.

“Ya, Bi. Ayah masih di Medan. Tapi saya sendiri dari kecil sudah hijrah ke Jakarta bersama ibu dan tiga orang kakak.”

“Ibumu masih hidup ?”

“Tidak. Beliau sudah lama meninggal. Untungnya saat itu kakak-kakakku sudah besar. Saya sendiri hidup dari kerja keras ke tiga kakak saya, Bi.”

Bibi menyimak dengan hikmat. Aku sendiri asyik menikmati es buah.

“Bibi sudah lama di kota ini ?” Jauhari membersihkan mulutnya dengan tisyu.

“Wah, ya sudah lama sekali. Mungkin seusiamu. Kalau boleh Bibi tahu, apa kerja ayahmu ?”

“Saya kurang tahu persis, Bi. Karena ibu tak pernah bercerita banyak tentang ayah. Hanya saja kakak pernah bilang kadang-kadang ayah jual beli emas dan tanah. Tapi saya sendiri tidak pernah membuktikannya. Saya hanya lihat ayah dari foto. Sejak ibu pergi ke Jakarta hingga usia saya sekarang 23 tahun ini, saya belum pernah menjenguk ayah. Hanya Kak Merry sajalah yang pernah mengunjungi ayah.”

“Waduh aneh sekali kamu ini, Jauhari. Masak sih ayah sendiri tak pernah dilihat.” Suara Bibi seakan menyesali sikap Jauhari yang tak perduli pada ayahnya.

“Saya tidak dekat dengan ayah.” “Mengapa begitu ?” desak Bibi.

Jauhari tak segera menjawab, dia mengalihkan pandangannya ke jendela, melihat bola besar yang berwarna merah itu tinggal sepenggal. Cahayanya yang jingga masuk ke rumah melalui ventilasi. Sebentar lagi malam akan tiba.

“Maafkan Bibi, Nak. Bukan maksud untuk menyinggungmu. Tentu segala sesuatunya harus diketahui karena kalian hendak menikah. Saya ini sudah tua. Cuma Bantari milik saya satu-satunya. Saya tak punya siapapun selain dia. Tentulah saya, sebagai orang tuanya perlu tahu tentang keluarga calon suaminya. Sebenarnya kalian ini masih sangat muda untuk melangsungkan pernikahan. Tapi sudahlah, daripada ditahan-tahan, efeknya juga tidak bagus. Apalagi di Jakarta ini semuanya serba boleh. Ah, sudahlah….” Suara Bibi kurang enak untuk kudengar.

“Ya, sudahlah kalau begitu. Ngomong-ngomong berapa usia ayahmu ?” Kembali Bibi mengajukan pertanyaan pada Jauhari.

“Saya tidak tahu pasti, Bi. Kemungkinan besar ya sudah tua. Kira-kira berumur tujuh puluh tahunan.”

“Di Medan bagian mana beliau tinggal ?”

“Kata Kak Merry, ayah tinggal masih di rumah yang lama. Di kawasan Serdang. Mungkin di Medan bagian timur.”

“Oh !” Bibi terpekik. “Ada apa, Bi ?” Aku segera bertanya keheranan.

“Tidak apa-apa. Mari kita teruskan. Siapa nama ayah dan ibumu ?”

“Kalau ibu bernama Nursiah dan kalau bapak lebih dikenal dengan Dullah Inggris. Karena kulitnya putih dan badannya tinggi seperti orang Inggris, makanya dia dipanggil dengan sebutan itu. Nama asli ayah, saya kurang jelas, apakah Abdullah saja atau… ”

“Oh tidak…!” Bibi memekik dengan kuat.

“Ada apa, Bi ?” Jauhari ketakutan. Sementara tubuhku sendiri terasa lemah. Aku tak sanggup berkata apapun. Mataku melihat cahaya warna-warni di mana-mana. Aku tak sanggup mendengar. Tubuhku terasa panas terbakar.

* * *

Lelaki itu duduk di kursi goyang. Kulitnya yang putih, tubuhnya yang tinggi, matanya yang biru, masih kulihat sama seperti dulu. Walau rambut telah putih semua, namun matanya seakan kuat mengharap pada sisa-sisa umur untuk tetap menikmati hidup. Inilah ayahku, kata bibi. Dan aku pun menyapanya dengan rasa yang haru biru. Tak tahu harus kusebut apa dia, tapi rasa itu ada semua dalam hatiku.

“Dullah, inilah anak perempuanmu dari kakakku Selasih.” Suara Bibi datar.

Ayah melihatku dengan seksama. Menelitiku satu demi satu dari ujung rambut hingga mata kaki. Dia tersenyum. Namun perasaanku dipenuhi dengan rasa jijik.

“Bicaralah, Nak. Bicaralah sepuas hatimu. Katakan pada ayahmu ini, apa yang telah dia lakukan sepanjang hidupnya yang membuatmu kini menanggung bebannya. Katakanlah, Bantari. Jangan ragu-ragu. Sadarkanlah lelaki ini atas kelakuakannya yang seperti kera itu !” Bibi bicara dengan mata marah menghujam ke mata ayahku.

Muka ayah memerah. Dia memandang sinis dan hina pada bibi. Dadaku naik turun dengan cepat. Aku takut kalau-kalau terjadi sesuatu yang tak kuinginkan. Tapi aku sendiri hanya sanggup diam. Mulutku belum juga mau bicara. Aku sendiri masih diliputi rasa ingin tahu dan rindu pada sosok ayah. Walaupun ia tak pernah hadir menemani masa kecilku, tapi aku tak dapat menyimpan keinginan untuk kembali melihat bahkan menyentuhnya.

“Bicaralah segera Bantari, waktu kita tidak lama di rumah ini. Jangan ulur waktu hanya untuk lelaki buaya ini !”

“Sundari, tutup mulutmu ! Tidak ada hakmu memaki-maki di rumahku !” Suara lelaki itu menggelegar penuh amarah. Bibi tetap memandang mata ayah. Kulihat benar betapa ia sangat membenci lelaki yang ada di depannya. Aku tidak tahu mengapa sampai demikian besar marahnya pada ayah.

“Tentu ada hakku. Mengapa pula tidak, Dullah. Selama ini kututupi siapa kau sebenarnya. Gara-gara ulahmu yang suka kawin mawin macam keralah yang membuatnya sekarang sengsara. Tahukah kau bahwa anak lelaki Nursiah, istrimu yang kelima puluh itulah yang menjadi calon suaminya ! Kau tahu apa akibat dari tindakanmu ini, Dullah. Apa ! Kau menyiksa puluhan wanita yang kagum dengan fisik dan hartamu. Kau rebut kekagumannya dengan mengawini mereka satu persatu. Setelah kau kawini, setahun kemudian pastilah mereka kau ceraikan. Jika mereka tak mau diceraikan maka kau akan meninggalkannya begitu saja. Kau bisa membuat itu semua karena kau punya uang dan menyuap mulut semua orang yang punya kuasa. Apakah kau tahu bagaimana perasaan anakmu ini ? Kau tahu, Dullah !” Bibi berkata lantang dengan mata yang juga penuh amarah.

“Apa tak ada laki-laki lain di dunia ini yang bisa dikawini kecuali abangmu sendiri, Bantari ?” Jawab ayah tiba-tiba ke arahku.

Aku tergagap dan tak tahu harus berkata apa.

* * *

Sungguh hatiku, tubuhku, ingatanku senantiasa rindu. Rindu ingin bertemu. Bertatap mata dengan mesra, mengulum senyum yang manis-manis saja, membelai tangan yang sama-sama halus ke empatnya dan bercerita tentang pengalaman kerja di kantor kita masing-masing. Namun semua itu terlarang kita lakukan. Semua itu harus kita buang. Biarlah ia hanya milik kenangan.

Sampali, 7 Syawal 1425 H.

Entah

Lupakah kau pada cerita nenek tentang api
keabadian yang menyala-nyala
dan manusia-manusia berubah jadi srigala

Ingatkah kau cerita seorang penggembala
Surga dengan sungai susu dan madu,

buah tumbuh meranum
dan sang bidadari....

Kini senja menggulung segalanya. Panas dan dingin bersatu. Anyir darah terasa madu. Bangkai segala bangkai menjadi menu. Banjir segala banjir akan selamanya begitu.

Jiwa yang jatuh, jiwa yang merana, api yang menyala-nyala dan surga di benak si penggembala adalah cerita yang tak ada habis-habisnya.

Kini kita sedang apa...

November, 2007

Badak Buta


Badak Buta, sebuah nama asing terlontar di antara renyah tawa kita sepanjang tahun
Mengapa mesti itu, tanyaku dengan tak enak hati
Lalu kau terangkan dengan meminjam beratus kata
Memutuskan dan menimbang, mengingat dan akhirnya mengungkapkannya
Adakah yang lebih baik selain mengenal diri sendiri...?

Dan nama itu
Apakah hubungannya
Kau tersenyum dan
bicara dekat dikupingku : Itulah namaku.

Flamboyan, akhir Januari 2008



Pada Sebuah Penerbangan

Lebih cepat lebih baik, akhirnya kukirim kalimat singkat melalui short message system ke nomor Reina. Satu menit kemudian terdengar bunyi tet. Kubuka dan cepat kubaca. Oke Ibu yang selewet, ia menirukan bahasa Hiya, anak lelaki pertamanya berusia dua tahun setengah.

Akhirnya ia telah memilih penerbangan pukul enam sore. Tak apalah, sesekali perlu juga naik yang lain. Jangan terlalu fanatik dengan satu atau dua maskapai. Ia mengirimkan balasan lagi menanggapi keberatanku pada maskapai penerbangan yang banyak sekali memakan korban jiwa, sekaligus memastikan keberangkatan kami besok menuju ke barat.

Sebenarnya pergi ke arah barat ibarat menjemput maut. Orang-orang yang mati dengan cara yang mengerikan melintas dikepalaku. Aku pernah melihat filmnya. Aku juga pernah membaca beberapa dokumentasi yang tak akan mungkin kulupakan. Tiba-tiba saja perutku mual dan serasa hal-hal yang menyenangkan tentang hidup ini seolah lenyap. Sesak dadaku mendengar keluhan banyak orang yang mengatakan bahwa hak-hak manusiawinya kian dikikis.

Berdua-duaan dengan lelaki atau perempuan yang bukan satu darah dilarang. Mereka mengatakannya mendekati perbuatan zina. Jika kartu tanda pengenal ditulis Islam, peraturan pakaian pun dikenakan. Pakaian harus menutupi aurat. Wajib memakai tutup kepala. Bagaimana kalau bersatu tubuh tanpa selembar surat? Sekawanan fanatik akan mencecar pertanyaan, nasihat juga hukuman. Si manusia ini akan diarak. Mereka dipertontonkan kepada orang ramai, tentu saja diliput media massa. Biasanya dihukum cambuk. Menurut literatur yang pernah kubaca, pada suatu zaman di sebuah negeri yang menganut aturan seperti itu mengkisahkan kalau si manusia yang disebut berzina itu kemudian dilempari dengan batu beberapa ratus kali. Kematiannya adalah jalan penebusan dosa.

Oh Mak, mampuslah aku kalau masih terjadi. Yang jelas, walau katepeku dituliskan beragama Islam, aku tidak akan mau memakai kerudung, apalagi jilbab. Jangan tanya alasannya apa. Berbusa mulutku menjelaskan, dijamin kuping mereka tak mau mendengarnya. Matanya pun kuyakini telah buta. Semua hal ditutup demi sebuah nama. Singkatnya beginilah, yang penting aku tidak mau. Pemaksaan adalah pelanggaran terhadap HAM. Itu yang kutahu. Titik.

”Sudahlah, masam kau tak tahu saja. Kalau ada perkara nanti, biar aku yang selesaikan.” Reina mencoba menenangkanku saat kami memasuki bandara Polonia.

”Maksudmu, kalau aku nanti ditanyai macam-macam kau mau melayaninya?”

”Iyalah, Mak Cik. Aku akan bilang kalau kau orang Kristen. Kan beres.”

”Dulu temanku yang datang dari Bali kebetulan beragama Hindu tetap dipaksa menutup kepalanya. Biar kau tahu, mereka merobek kain sarung dan memaksanya jadi kerudung.” Aku mengajukan bukti yang kusaksikan sendiri waktu itu.

”Iya pulak ya, tapi itu tahun berapa, Coy?” Balik ia bertanya dengan sebutan-sebutan akrab khas Medan. Panggilan coy, makcik, uwak atau apa saja yang cocok kami rasa, akan kami sebutkan untuk tidak menyebut namanya.

”Tahun 1999 kalau tak salah.” Aku menjawab dan memijit kepala seolah terasa sakit. Ia hanya tersenyum, tapi aku tak tahu mengartikannya apa.

Reina tidak bermasalah karena ia memang memakai jilbab. Ia teman baikku selama sepuluh tahun ini. Sebenarnya ia bisa saja pergi lebih dulu ke arah barat, namun ia menunda dua hari hanya untuk pergi berdua denganku. Aku tahu maksudnya, setidaknya ketika kami di pesawat dia bebas bercerita apa saja. Segalanya terasa lepas, begitulah kalimat yang pernah kudengar dari mulutnya.

Padahal aku selalu marah-marah kalau berjumpa Reina. Pastilah kuungkit masalah keluarganya yang tak pernah selesai. Misalnya soal suami dan mertuanya yang menurutku sungguh keterlaluan. Karena takut dibilang menantu atau istri durhaka, tubuh Reina dari waktu ke waktu terus menyusut. Wajahnya semakin tirus. Ia terlihat tidak lagi menarik seperti dulu. Selain kerempeng, ia pucat dan sakit-sakitan. Cobalah lihat buah dadanya sangat lepes. Padahal ia tengah menyusui anak ketiga. Reina terus menahan diri untuk tidak mengungkapkan secara terbuka kepada keluarga suaminya. Tapi jelas menurutku sikap seperti ini tidak menyelesaikan masalah. Bukankah segalanya bisa dicoba, berhasil atau tidak bukan masalah.

Yang kedua karena diusianya yang sama denganku, tiga puluh satu tahun, sudah beranak tiga, sementara aku, satu pun belum walau pernikahan kami telah menuju angka lima. Reina harus bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya. Pencari nafkah utama dan yang paling diutamakan. Sedang suaminya untuk sementara ini, masih mocok-mocok terus. Kastro memang rajin mencari uang dengan berbagai macam usaha, namun hasilnya belum mampu mencukupi kebutuhan rata-rata dua orang dewasa. Selain menanggung tiga anak, Reina juga membiayai makan dan segala kebutuhan primer si Bunda, ia memanggil mertuanya begitu. Ditambah adik mertuanya yang melajang hingga usia lima puluh tahun. Oh ya ada satu lagi, adik Kastro, Marzhan namanya. Semua orang-orang yang kukatakan ini tinggal seatap. Bisakan dibayangkan penindasan macam apa yang dirasakannya. Tapi boleh jadi ia tak peduli. Reina tetap Reina. Aku kehilangan semangat, sebab mulutnya masih tetap tak mau bersuara.

Malangnya kami tak satu deret tempat duduk. Seseorang keburu mendahului saat antri menyerahkan tiket untuk diperiksa. Padahal Reina sangat ingin bercerita sambil menikmati penerbangan singkat bersamaku. Soalnya perjalanan seperti ini sangat langka terjadi di antara kami. Biasalah persoalannya klasik, sibuk kerja. Aku yakin dia sedih sekali. Tapi apa boleh buat, perempuan kulit putih dengan matanya yang biru itu tidak mau ganti tempat duduk dengannya walau Reina sudah memohon dengan sebuah alasan yang masuk akal sekalipun.

”Ya sudah lain kalilah, Wak. Belum waktunya,” bujukku agar ia tak terlalu kecewa. Kulihat mulutnya mengkerut runcing. Ia tampak semakin tua di mataku.

Aku mencari-cari tempat duduk berkode F9. Itu dia, bisikku dalam hati setelah melihat huruf F besar dua langkah dari jarakku berdiri berhimpit-himpit dengan penumpang lain yang semuanya ingin cepat-cepat duduk.

Uff ! Ternyata ada juga hikmahnya berpisah duduk dengan Reina. Sepanjang sejarah menaiki burung terbang dengan kemampuannya menembus gerombolan awan yang mengapung di langit luas, belum pernah sekalipun aku bernasib sebaik senja kali ini.

Manusia muda, cukup manis. Sejak dia tahu aku akan menjadi pendampingnya selama empat puluh lima menit ke depan, telah melempar senyum terbaiknya untukku. Dengan tangkas ia mencoba membantu memasukkan kotak kardus berisi buah tangan untuk sanak saudaraku. Seharusnya kotak ini kuletakkan di lemari, namun semua ruang sudah terisi penuh dengan barang-barang. Agak susah memang memasukkan kardus itu ke dalam, tapi cekatan sekali ia melakukannya. Tentu tak lupa kuucapkan terima kasih.

”Mau ke mana, Mbak?” Ia bertanya sangat ramah. Suaranya enak sekali didengar. Renyah seperti kentang goreng. Aku mencoba melihat dua detik matanya yang menyorotkan tanda persahabatan.

”Hmm... yang jelas sama denganmu, mana mungkin ke lain tempat.” Aku menjawab tegas. Dia tersenyum manis sekali. Saat itu juga aku teringat Reina yang duduk pada deretan kursi belakang. Aku berdiri, memutar badan sebisanya dan memanggil namanya. Kepalanya mendongak dengan mulutnya yang terbuka mengarah kepadaku.

”Enggak apa-apa, aku hanya memanggilmu saja.” Kataku dengan tekanan suara sedikit kuat. Beberapa orang bereaksi melihatku. Aku menebar senyum. Sebenarnya aku mau bilang pada Reina kalau aku beruntung sekali tidak duduk dengannya. Ide ini memang kurang ajar, bersenang-senang di atas kekecewaan orang lain. Namun maksudku bukan begitu, barangkali ketika aku katakan bahwa aku senang sekarang karena duduk bersama seseorang yang menyenangkan, aku berharap dia juga turut senang.

Ah, sudahlah. Aku mau berbicara lagi dengan manusia manis ini. ”Kamu sendiri mau kemana?” Aku memulai. Ia yang muda, mungkin usianya berada empat tahun di bawahku menatap hanya dengan jarak empat puluh senti meter. Dengan nada yang masih memukau ia menerangkan panjang lebar tentang masalah tanah di negeri yang paling parah terkena dampak tsunami. Menurutnya karena pergeseran geografis sejak tahun 2004 dan beruntun hingga sekarang, masalah tanah menjadi sesuatu yang rawan dan mesti didata ulang. Tandra sudah tiga tahun bergeliat dengan kasus itu. ”Memang lumayan capek, namanya juga kerja pasti ada resikonya.” Katanya seolah bercakap dengan dirinya sendiri.

Dari jendela pesawat kulihat kilatan cahaya putih membelah langit. Tiba-tiba hatiku begitu ciut. Aku ingin membatalkan pertemuan dengan seorang klien. Aku ingin surut. Aku takut.

Semenit kemudian, sebuah pengumuman mengatakan pesawat ditunda lima belas menit karena persoalan teknis, namun penumpang diharap tenang dan tidak perlu kembali ke ruang tunggu. Kudengar orang-orang mengeluh.

Aku mencoba rileks dan mengalihkan perhatian pada manusia di sampingku. Ia tampak begitu tenang. Tanpa kusadari sejak dari tadi ia memperhatikanku.

Langit senja yang kini tak jelas warnanya kembali dihela riuh suara petir. Sejak proses global warming semakin parah, cuaca tak bisa lagi ditebak. Padahal tadi biasa-biasa saja. Semuanya berubah serba mendadak dan tak pasti.

”Tak usah takut,” Tandra berucap dekat kuping seolah mengetahui suasana hatiku. Aku menoleh ke arahnya. Beberapa detik kami diam terpana. Rasanya hampir tak berjarak. Maksudku tidak cuma tangan, wajah kami pun bersentuhan. Panas sekali rasanya, aku hampir terbakar. Tak pernah sengatan listrik sejenis ini terjadi sebelumnya. Adrenalin di tubuhku mengalir deras. Ia meletupkan percik api.

Entahlah mungkin aktifitasku selama ini seperti mekanik. Tanpa jiwa. Sepertinya aku membutuhkan relaksasi semacam kejadian tadi yang memacu hormon itu hidup kembali. Memang subjektif sekali tampaknya. Tapi biarlah.

Perbincangan kami semakin menarik, semakin menjurus pada hal-hal yang menyenangkan. Aku lupa pada Reina yang sedang sedih dan manusia lain yang tadi kutinggalkan kira-kira satu setengah jam lalu di rumah.

Garuda membumbung di ketinggian empat belas ribu kaki. Guncangan-guncangan hebat dan kilat yang menyambar-nyambar tidak lagi cukup menakutkanku. Sejujurnya tidak ada yang lebih menarik selain melihat, merasakan dan menikmati debaran jantung yang mendetak cepat. Semua datang secepat kilat meretak wajah langit. Aku baru tahu ada sengatan listrik serupa ini.

Dalam hati aku berjanji berbagi cerita pada Rei. Akan kukatakan, andaipun Garuda tua ini terbelah dua bahkan berhamburan di udara, aku berterima kasih padamu karena penerbangan kali ini. Kau tahu Mak Cik Reina, pasti akan kutambahkan kalimat ini, aku tidak hanya terbang bersama Garuda, namun manusia muda yang manis itu hampir membawaku mengitari matahari. Tapi Rei, aku ingin cepat pulang, jika tidak kau tidak akan mampu membendung arak-arakan manusia itu mencambuk atau melempari kami dengan batu.

Flamboyan, 20 April 2008.

Tunggal Sak Kapal

Setiap hari raya keluarga berkumpul di rumah kakek dan nenek dari pihak ibu. Sebuah desa kecil bernama Tanah Jawa itu akan rutin dikunjungi setidaknya sekali dalam setahun. Keluarga besar kami berasal dari Jawa, tetapi karena nenek tidak pernah bercerita tempat asalnya, maka tidak seorang pun di antara kami yang tahu dari Jawa mana ia berasal.

Kakekku bernama Kasbola, tunggal sak kapal dengan nenek. Mereka dibawa ke tanah bermantra ini sebagai koeli kontrak pada perkebunan teh yang baru mulai dibabat.

Sopo jenengmu, Nduk?" Tanya kakek pertama kali saat bertemu nenek dalam geladak kapal. Sebuah pelayaran yang sangat panjang menuju tanah harapan, kata sebagian orang.

* * *

Subuh baru saja akan berubah lebih terang, Katmini diperintah ibunya pergi ke sebuah warung kecil untuk membeli bawang merah, bawang putih dan sekaligus minyak makan. Sembari memegang botol kecil dengan penutup dari daun pisang ia berjalan dengan balutan kain panjang. Kakinya yang kecil selangkah demi selangkah menuju ke warung Mbok Nem.

Entah mengapa ia tidak enak pagi ini. Ada sesuatu yang membuatnya takut. Namun ia tak tahu sesuatu yang mana dan seperti apa. Ia ingin menangis, meraung dipelukan ibunya. Namun ibu yang ada di rumah, di mana ia tinggal menetap bersamanya, tak pernah sudi menyentuhnya sekalipun. Perempuan yang ia panggil ibu itu hanya mau menyuruh, tak lebih dan tak kurang.

Katmini, gadis kecil usia sepuluh tahun itu tak mengerti harus bagaimana. Bahkan ia juga tak sadar seseorang dari tadi memperhatikannya, menguntitnya dan kini tepat di belakangnya. Jarak antara mereka kini hanya dua galah panjangnya.

”Cah Ayu..,” panggil sebuah suara dari belakang. Katmini kaget luar biasa. Ia tak pernah dipanggil dengan sebutan itu. Ia bahkan tak mengira akan ada orang yang sudi memanggilnya dengan panggilan yang membuatnya ingin jatuh saja. Namun ia seketika juga sadar benarkah suara dari arah belakang itu diperuntukkan padanya.

”Oh Gusti Pangeran, ampunilah hamba yang sedang kacau ini,” bisiknya dalam hati.

”Cah Ayu..,” kata suara itu lagi. ”Berpalinglah kepadaku. Aku ada di belakangmu,” suara itu mencoba memastikan bahwa ia benar-benar sedang meminta gadis kecil yang tengah berjalan sendiri itu berbalik melihatnya.

Jantung Katmini berdegup kencang. Tubuhnya hampir saja jatuh membentur tanah. Sedetik ia melayang, namun ada kekuatan lain yang membuatnya tetap tegak mematung. Kat hanya bisa menunggu kalau-kalau suara itu benar diperuntukkan padanya. Gadis kecil ini juga berharap agar suara itu lebih mendekat, sedekat antara kuping dan mulutnya. Harapan yang begitu lucu.

Terjadilah apa yang diharap Katmini. Suara itu mendekat. Jaraknya hanya sejengkal.

”Oh...!” ia terpekik, pucat dan panik.

Si pemilik tersenyum dan memandang lekat tepat ke titik matanya. Kat melihat tampang lelaki yang berada di depan mukanya dengan penuh ketakutan. Kumisnya tipis, hidungnya mancung dan kecil. Bibirnya tipis. Ada tahi lalat di dagu sebelah kanannya, titiknya sebesar kuku jari bayi.

”Siapa namamu, Cah Ayu?” lelaki itu bertanya lembut pada Kat.

Jantung Katmini semakin keras debarannya. Ia belum mampu menjawab dengan cepat. Botol yang dipegangnya hampir saja jatuh. Tapi ia berusaha keras menata diri.

”Hayo siapa?” tanya si pemilik tahi lalat itu sekali lagi.

”Kek..kek..Katmini, Pak.” Jawabnya gagap.

Lelaki itu menggamit tangan Kat dan menyentuh lembut telapak tangannya. Ia menatap Kat kembali dan berkata, ”ikutlah bersamaku, sebuah tempat impian menantimu. Kelak kau akan jadi orang terpandang, Orang kaya . Orang hebat. Emasmu banyak, rumahmu juga besar.. Kain panjangmu juga akan bagus-bagus, tidak kucel seperti ini. Ayo, ikutlah bersamaku, Cah Ayu.”

Kat diam terpesona. Matanya terus menatap mata lelaki itu. Mata Kat terus mengikuti ke mana gerak tubuh lelaki itu berlalu.

* * *

Tiupan angin yang lembab menyapu tubuh-tubuh yang berjejer seperti susunan ikan gembung rebus dalam keranjang bambu. Tubuh-tubuh itu lusuh dan apek. Berhari-hari lamanya mereka diombang-ambingkan gelombang lautan. Tak seorang pun yang berani berteriak minta tolong karena ketakutan didera keadaan yang serba tak menentu. Tak seorang pun berani bertanya pada orang di sebelahnya, karena sama-sama baru dikenal. Di geladak kapal, mereka dihalau ombak sepanjang waktu. Kapal itu menuju suatu pulau antah berantah. Sebagian ada yang mengatakan pulau bermantra, sebab tanah itu adalah tanah yang dimantrai, tanah yang sakral.

Kat, gadis kecil yang disuruh ibunya membeli minyak makan, ternyata ada di antara kumpulan manusia lusuh dan bau itu. Ia entah pada jejeran yang ke berapa, sebab agak sulit menghitungnya. Ia juga tidak tahu harus bertanya pada siapa. Selain Kat gadis pemalu, ia benar-benar tak mengerti akan apapun. Ia kelihatan bingung, sedih dan merana. Satu-satunya hal yang dia ingat adalah dirinya bernama Katmini. Dan botol yang masih berada dalam genggamannya ini adalah botol minyak makan kepunyaan ibunya. Mungkin wanita itu masih menantikan kepulangannya. Kepulangan Kat yang bukan anak kandungnya. Ia mengakui dalam hati kalau Katmini adalah anak yang baik, penurut, dan pandai menyenangkan hatinya. Tapi bagaimanapun, Katmini tak pernah bisa disayanginya sebagaimana ia menyayangi Sundari atau Bhatara.

”Pasti ibu kecarian,” Kat bertanya dalam hati. Ia segera mengingat sesuatu, ia mencoba meraba-raba dadanya yang kerempeng. Ia memasukkan tangan kanannya ke bilik-bilik baju. Kat menemukan uang logam kecil mungil yang menempel cukup kuat dikulitnya yang lembab karena keringat. Katmini tiba-tiba teringat sesuatu. Ya, lelaki berkumis tipis yang memanggilnya dengan sebutan Cah Ayu itu memegang lembut telapak tangannya yang kasar dan spontan ia ikut saja dengannya ke mana pun lelaki itu pergi.

”Oh, di manakah dia. Diakah yang membawaku ke tempat ini?” Kat bertanya-tanya dalam hati. Tapi Katmini merasa pusing. Badannya lemas, karena tak makan beberapa hari. Hanya minuman saja yang bisa membuatnya bertahan. Itupun ia dapatkan dari pemberian orang-orang yang tidak ia kenal. Minuman itu dibagikan secara acak dan tentu saja tidak merata. Namun ada juga beberapa di antara tumpukan manusia-manusia kumuh ini mendapatkan sesuatu yang bisa dimakan. Entah dari mana, mungkin mereka sudah mempersiapkannya sejak awal. Kat tak tahu ia berada di mana dan akan ke mana. Ia hanya tahu melalui ucapan lelaki itu akan pergi ke suatu tempat yang banyak emasnya. Ah, Kat sama sekali tak tergiur dengan emas. Walaupun ia pernah melihat Bu Misenah, teman ibunya pernah mengenakan benda berbentuk kalung yang berwarna kuning di lehernya. Tapi Kat sama sekali tidak terpikat.

Gadis manis berkulit kuning langsat ini tak sadar, seseorang sejak tadi memperhatikannya. Orang itu duduk tak jauh dari tempat Kat berada. Matanya yang besar dan merah, entah karena sakit mata atau terlalu berani menantang hembusan angin laut, tampaknya senang memperhatikan gadis kecil dengan kain panjang kumal yang membelit tubuhnya. Kat sendiri tak merasa diperhatikan oleh siapa pun.

Waktu terus berpacu. Siang dengan cepat diganti oleh malam. Udara yang lembab basah menyapu setiap apa saja yang dilaluinya. Kulit terasa semakin lengket dan asin. Kat menangis terisak-isak, sambil mengingat satu persatu semua orang yang pernah dikenalnya di kampung. Ia merasa kesepian. Tak satu pun yang bisa diajaknya bicara. Tak satu pun dikenalnya di tempat yang membuatnya sangat terasing. Oh, betapa terpencilnya Kat di tengah-tengah ratusan manusia kapal yang sebentar lagi tiba di tanah impian. Karena letih dan rasa lapar yang luar biasa, Kat mencoba mengusiknya dengan tidur.

Tapi sesuatu yang aneh dan tak terbayangkannya terjadi. Kat merasa ada tangan yang menelusuri dadanya. Mencoba memijit-mijit puting susunya. Kat merasa jengah dan berteriak kesakitan. Ia terbangun. Didapatinya sesosok manusia berkumis melintang sedang ingin memeluknya. Kat berusaha menepisnya dan bergerak sedapat mungkin, tapi malam yang gelap menghalanginya. Kat mencoba menjerit sekuat-kuatnya, tapi anehnya tak ada satu orang pun mendengarnya atau berusaha menolongnya. Lelaki itu semakin kuat mencengkeramnya. Kat meronta-ronta. Kain panjangnya tersingkap. Ia ingat membawa botol dan mencoba menggapai botol yang letaknya agak jauh dari posisinya mempertahankan diri. Botol itu menggelinding ke segala arah sesuai dengan hempasan yang diterimanya. Kat dengan tenaga yang lemah terus berusaha mengelak dari apa yang akan diperbuat laki-laki kasar itu padanya. Namun tanpa diduga, sebuah tendangan cukup keras menghempaskan laki-laki yang mencengkeramnya kuat itu hingga ke dinding kapal. Kira-kira jarak antara tendangan dan hempasan sekitar tiga meter.

Tanpa basa-basi, laki-laki yang terpelanting itu bangkit dan mencoba menghajar seseorang yang berdiri tegak menantangnya. Terjadi perkelahian seru. Beberapa orang mulai sadar akan apa yang terjadi di sekeliling mereka. Namun sepertinya kejadian itu sudah biasa. Mereka hanya duduk dan melihat siapa yang menang. Sesudahnya mereka akan kembali seperti biasa, tidak peduli dan kelihatan apatis. Namun dalam hati, mereka sangat berharap perjalanan panjang yang sangat menyiksa dan melelahkan ini segera berakhir. Dan pertarungan itu adalah hiburan yang cukup menyenangkan hati. Mengusir rasa gelisah dan harapan yang tak pasti.

Katmini, gadis kecil yang malang itu masih terus memperhatikan pertarungan laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Dalam hati ia sangat bersyukur dan berterima kasih pada laki-laki yang wajahnya tak begitu jelas dilihatnya karena sedang sibuk menendang dan mengelakkan pukulan. Ia berharap laki-laki yang menolongnya itulah yang menang, dan laki-laki yang berkumis melintang itu kalah dan kalau bisa mati saja. Ia tak menyangka akan mendapati kejadian yang serupa ini. Tak pernah sekalipun terlintas dibenaknya akan hal-hal yang aneh.

Gerakan kedua lelaki itu kelihatan semakin melemah, mungkin karena makanan yang diberikan sangat kurang atau karena batas tenaga keduanya hanya sampai di situ. Lelaki berkumis melintang memberikan isyarat menyudahi perkelahian. Lelaki yang satunya lagi sepertinya setuju karena kelihatan ia pun sangat letih benar. Pertarungan telah usai. Tak ada yang menang dan yang kalah. Para penumpang kapal kembali tergeletak tak berdaya.

Di langit hanya diterangi beberapa bintang malam ini. Suasana begitu tenang. Ombak tidak terlalu besar. Hanya bunyi mesin yang mengepulkan asap hitam yang terus memacu baling-baling kapal di dalam air agar terus membelah lautan. Sesekali ada yang bernyanyi. Mengisahkan ketidakpastian dan hidup yang sunyi.

Lelaki yang tak dikenal itu mendekati Kat yang sedari tadi duduk bersandar memperhatikannya. Kat ingin segera bangkit dan mengucapkan terima kasih, tapi sepertinya tenaganya juga habis. Habis karena rasa takut yang belum reda dan habis karena lapar yang luar biasa. Kat hanya bisa menatapnya dan itu pun tak begitu fokus.

”Kamu tidak apa-apa, Nduk?” Suara lelaki itu menyejukkan hati Katmini. Ia spontan mengangguk.

Matur nuwun sanget, Pak.” Ucapnya lirih.

”Ya, sama-sama. Lelaki itu memang senang mencari gara-gara. Kelakuannya brutal. Di sebelah sana dia juga pernah berbuat begitu pada seorang perempuan yang lebih tua sedikit dari kamu.” Kat berusaha mendengarkan keterangannya dengan seksama.

”Saya tidak sempat menolongnya karena tahunya juga dari orang-orang.” Lanjutnya lagi.

”Lalu bagaimana perempuan itu, Pak?” Kat memberanikan diri bertanya, entah mengapa tiba-tiba saja ia punya keberanian seperti itu.

“Ya begitulah, Nduk. Entah kenapa, mungkin dia merasa malu karena sudah dinodai secara paksa oleh laki-laki tadi. Suatu malam, ketika orang-orang sibuk dengan pikiran mereka masing-masing perempuan itu awalnya terlihat memanjat salah satu dinding kapal, tapi kemudian secara tiba-tiba dia menceburkan dirinya ke laut.”

“Oh!” Kat memekik kaget dipenuhi rasa ngeri.

”Sudahlah, Nduk. Itu takdirnya. Yang penting kamu selamat. Jenengmu sopo, Nduk?” Tanyanya kemudian mengalihkan rasa takut gadis yang ada dihadapannya. Katmini malu-malu menjawabnya. Ia merasa seolah-olah begitu dekat dan sudah mengenal laki-laki penolongnya ini. Entahlah mengapa sampai demikian. Ia berpikir kalau laki-laki di sampingnya adalah abangnya. Katmini ingin hidup bersamanya, bahkan ke mana saja. Ia rindu sekali berbicara. Ia rindu kampung halamannya. Ia rindu bau harum bawang merah dan bawang putih ketika digoreng dengan minyak kelapa. Ia rindu teman-teman sepermainannya. Rindu Sugirah, rindu Astono, rindu Bude Kamisah, Pakde Trenggono dan semua, dan semua. Juga rindu pada Sundari yang suka mencubitnya hingga kulitnya kadang terkelupas, walaupun jika ibu tahu ia tak pernah memarahinya.

Bersama laki-laki penolongnya itu, Katmini telah melahirkan enam belas orang anak. Namun karena ketiadaan obat dan pengetahuan yang cukup, kedelapan anak-anaknya mati. Mati karena malaria, mati karena penyakit tipus dan yang paling sering mati karena disentri. Hanya satu orang yang mati waktu usianya berumur lima tahun karena gigitan ular berbisa. Selebihnya yang delapan orang telah melahirkan generasi baru dengan dua ratus cucu dan lima puluh canggah yang memadati sebuah perkebunan di kawasan Sumatera Utara.

Katmini tutup mata pada usia seratus tiga tahun. Lelaki penolongnya yang bernama Kasbola, selain seorang pendekar ia juga seorang dalang wayang kulit, lahir di sebuah kabupaten di Jawa Timur, Tulungagung pada permulaan tahun 1800. Ia mampu bertahan hidup hingga seratus tiga belas tahun lamanya. Mereka tidak pernah dicatat sebagai pahlawan penanam dan pemetik daun teh serta tembakau yang turut menyumbang devisa bagi republik.

Sei Batanghari, 23 Desember 2007, pukul 10.14 WIB.

Jatuh


“Atur nafasmu, Nihyang. Kita belum boleh lelah.
Simpan dulu lelahmu. Ayo terus naik. Raih tanganku. Ayo…!”

Aku mengulurkan tangan kanan yang mulai terasa berat. Badik berusaha sekuat tenaga menariknya ke atas. Aku mengikuti tempat pijakannya. Hampir saja kakiku terpeleset. Kalau itu terjadi pastilah tubuhku remuk di tanah. Mungkin kaki atau kepalaku juga berpisah satu sama lain. Oh tidak ! Aku tak boleh membayangkan tubuhku berpisah. Aku harus selamat. Harus !

Tapi aku sangat letih, letih sekali. Kembali kuatur nafas. Namun mataku tak bisa beralih ke tempat lain. Di depanku hanya ada batu. Batu cadas berbalut lumut-lumut hijau. Kuberanikan memandang ke bawah. Tebing ini begitu curam. Darahku berdesir. Rasa takut seketika menghimpit. Keringat dingin menjalar ke seluruh tubuh yang tengah mandi keringat.

“Ayo Nihyang…! Jangan melamun, nanti kau bisa jatuh. Kuatkan hatimu. Kita sudah berada pada ketinggian 200 meter dari permukaan laut. Nihyang…lihat ke atas jangan ke bawah !” Badik bersuara keras mengingatkanku.

Aku terdiam lama. Mengapa tiba-tiba aku bersamanya ? Dimanakah aku. Bukankah dia kekasih temanku. Apa yang tengah kulakukan ini. Mengapa hanya ada aku dan dia. Mana Ratna ? Mana karibku…

Dua meter Badik di atasku. Dia hampir sampai ke tujuan. Sedikit lagi. Dan aku pun akan segera menyusulnya. Di tempat yang tinggi dan datar itu, kami akan membuat kemah kecil. Kemah tempat bernaung dari sergapan dingin dan panas matahari. Tanah datar seluas lima belas kali sepuluh meter itu sudah tiga kali dijenguk. Ini kali yang ke empat.

Tapi tanganku letih sekali rasanya. Tubuhku berat dan penat. Tiba-tiba aku ingin terbang saja dari tebing ini. Melayang dan meliuk-liukkan badan di udara, memandang bumi dari tempat yang tinggi. Bumi yang melahirkan kehidupan. Dan bumi yang melahap setiap kematian. Aku ingin terjun ke bawah, meluncur seperti anak panah menembus dada bumi.

Aku ingin minum. Kerongkonganku terasa kering. Aku segera meraba botol minuman. Tapi kakiku tak sedikitpun bisa digerakkan. Aku mencoba menggerakkannya barang sedikit saja untuk memudahkanku menyentuh botol minuman. Tapi tetap kaku. Rasanya aku tak bisa.

“Badik…!”

“Ya…” Kudengar gema suaranya dari dinding tebing. Suara Badik terdengar penuh kemenangan. Sepertinya ia telah sampai di tanah yang datar.

“Nihyang, aku sampai….!” Ia meluap senang.

“Kau pun akan segera sampai Nihyang. Kita akan berpesta di sini. Mengenang semua yang pernah terjadi di tempat ini.” Kata-katanya sangat bersemangat.

Aku mendongak mencoba melihatnya dari bawah. Dia berdiri tepat di bibir jurang menantikan pencapaianku.

“Badik…!” Aku berseru sekuatnya. Pantulan suaraku didengar oleh rimba, oleh angin, oleh jurang yang menganga di bawah. Aku mendengar suara-suaraku di kesenyapan yang luas ini.

“Ya…teruslah naik. Atur nafas. Kuatkan pegangan tanganmu. Aku akan menyambut. Sedikit lagi Nihyang, sedikit lagi. Ayolah sayang…” Suara-suaranya pun terus menggema, gaungnya berulang-ulang.

Kepalaku terasa pusing. Aku lemah sekali. Segera kusandarkan tubuhku ke dinding tebing. Kulemaskan seluruh tubuh. Aku memegang erat temali yang membelit ini. Kembali kuatur nafas. Aku harus bisa !

“Nihyang, ayolah sayang. Kenapa lama sekali….” Badik berteriak dari atas.

Lima meter lagi aku akan mencapai tanah kenangan itu. Tanah yang betul-betul penuh kemenangan. Di situ untuk yang pertama kali Badik menyatakan cinta padaku. Cinta dari seorang yang dinanti. Ya, aku nantikan ia berpisah dengan Ratna.

Tapi aku tak merebut Badik darinya. Dia yang melepaskannya. Walaupun kuyakin benar, Badik tak pernah bermimpi pisah dengan perempuan cantik itu. Sejujurnya kuakui Ratna sangat mencintainya. Percayalah, hanya Badik yang tolol ini yang sanggup melakukan perpisahan dengan wanita itu. Dan aku ? Ya aku pasti sangat bersyukur.

Ratna gadis manis berkulit mulus bak porselen. Perempuan idaman kehidupan. Cantik, pintar, berprestasi, ramah, suka menolong, mahir menari balet, pandai menulis puisi, pernah memenangkan lomba karya ilmiah tingkat nasional sebanyak tiga kali dan pernah menjadi duta Indonesia untuk pesta bunga di Pasadena. Ratna, siapa yang tak suka denganmu. Semua pasti suka. Dan aku pun sangat suka denganmu. Sosok perempuan perfect satu-satunya yang baru pertama kukenal di bumi.

“Nihyang…ayolah naik ! Jangan lama-lama…” Kudengar lagi suara Badik di lereng sunyi.

Aku mendenguskan nafas dengan keras, berharap bisa bergerak. Tapi nyata aku hanya bersandar di sisi tebing curam. Aku menahan sakit yang menyerang betis. Kakiku tak sanggup naik ke atas.

Besi kait ini pun sepertinya tak akan bisa lama bertahan. Aku harus bergerak naik. Merengsek dinding ini tahap demi tahap. Aku harus bisa mendaki. Aku harus bisa menikmati hidup. Ayolah mendaki ! Jangan letih dulu !

Aku tahu alasan Ratna memutuskan Badik. Karena dia telah bertelanjang padaku. Akulah satu-satunya teman karibnya, sejak lima tahun lalu. Ratna dan aku senantiasa setia. Aku setia mendengar semua ceritanya, dia setia membantuku dalam segala rupa. Membantu mengerjakan tugas-tugas kuliah, membantu menyelesaikan skripsi, membantu membayar tunggakan SPP dan mencarikanku seorang atau dua orang lelaki. Katanya, “Pacaranlah, kau akan merasakan nikmatnya.” Dan karena kusuka dia, tentu kumaui apa maunya.

Budi Arwana, Joe Hutagalung, Simon dan Ketut. Semuanya bubar dengan baik-baik. Semuanya beringsut satu demi satu. Aku tahu penyebabnya. Pertama, satu pun diantaranya tak kuminati. Secara biologis ataupun psikologis. Kedua, semua itu kulakukan demi menyenangkan dan membahagiakan Ratna. Dan ke tiga, agar dia tak curiga padaku. Hanya itu.

Siapapun di dunia ini, jika dia normal pasti kagum padanya. Setidak-tidaknya akan suka melihat wajahnya. Itu pasti. Aku sangat mengagumi rambutnya yang hitam berkilauan kalau tertimpa cahaya. Kulitnya kuning langsat, ditumbuhi bulu-bulu halus yang rebah tidur teratur di kulitnya yang halus. Satu lagi matanya itu cantik sekali, seolah-olah selalu digenangi air. Intinya hanya satu, setiap apapun yang keluar dari mulutnya akan kusimpan dan kupelihara dalam-dalam.

Tentu Ratna sangat senang bercerita. Dan mataku akan lekat-lekat menatap matanya. Katanya suatu kali, barang siapa yang berbicara berhadap-hadapan dengan saling menatap mata, pastilah ia dapat dipercaya. Aku tak tahu mengapa dia percaya benar dengan teori tatap mata itu. Sejujurnya, sekali lagi aku mengagumi mata indahnya. Sejujurnya aku selalu dapat menahan selera dengannya.

“Nihyang….ayolah naik ! Mengapa lama benar…” Badik berteriak kuat sekali. Gaungnya memenuhi udara. Aku terkejut dibuatnya. Aku gelisah mengingat Ratna. Mengingat surat-suratnya yang berkisah tentang Badik. Ya benar, Badik memang seorang pemuja kebebasan. Bukankah itu yang dicari setiap orang. Siapa yang mau dipenjara ? Semua mau bebas, lepas dari ikatan, lepas dari jeratan. Saat ini pun aku ingin lepas dari ikatan tali-tali yang mengikat tubuhku ini. Termasuk bebas lepas mencintai Badik sekaligus Ratna.

Kakiku masih terasa kebas. Perlahan-lahan kucoba menggerakkannya. Ternyata bisa ! Ya aku telah menggerakkannya. Jantungku berdebar. Aku akan sampai di tanah datar, tanah kenangan itu. Tanah yang mempertemukanku dengan laki-laki bernama Badik. Tanah yang mengingatkanku pada Ratna.

* * * *

10 Februari 1999

Warna langit terlihat merah di ufuk barat. Bola raksasa itu perlahan dengan kekuatannya turun ke balik bukit. Senja pun berubah menjadi malam. Dari jarak 15 meter, kulihat Badik menyentuh pundak Ratna dari belakang. Aku masih diam tak beranjak menghampiri mereka.

Aku bergelut dengan mantel dan hawa dingin di dalam tenda. Kulihat mulut Simon terbuka pasrah. Dia kelihatan letih benar. Ini kali pertama baginya mendaki gunung. Jalan yang kami tempuh melalui rute normal, tidak merangkak dari dasar tebing. Itu tentu tak kami lakukan, sebab kami tak mau Simon menjadi almarhum.

Aku membiarkan Simon tidur sendiri. Aku tak berhasrat memeluknya untuk mengibaskan cemas. Entahlah, aku tak ingin cemas ini hanya tunggal di dada. Oh, cemasnya aku melihat mereka di ujung sana. Mungkin dikiranya aku tidur bersama Simon. Tapi mereka keliru. Aku tak bisa memejamkan mata sedikitpun, walau letih sangat terasa.

Aku masih tetap cemas. Tak lama, kulangkahkan kaki mendekati mereka. Tanpa permisi, aku duduk dekat Ratna. Dia menatapku dan tersenyum. Senyumnya manis sekali. Aku menatap mata Badik, dia juga tersenyum manis sekali.

“Kau belum tidur ?” Tanyanya. Aku menggeleng.

“Sedang apa di sini ?” Tanyaku mengusir cemas.

“Tak ada. Hanya duduk.” Jawabnya.

Ratna menarik tangan kananku lalu menelusupkannya dilipatan tangan. Ia mendekap kuat dengan tubuh menggigil kedinginan. Lamban kuraba tangannya, terasa begitu lembut. Hatiku tergetarku menahan selera. Cepat kucari tatap mata lelaki di sebelahnya. Dia tak melihatku. Badik membelai rambutnya.

“Aku ingin minum teh.” Ratna berkata pelan.

Ingin kuambil di tenda, tapi Badik terlebih dulu mewujudkannya. Segera saat itu kutatap lekat mata Ratna. Nafasku tertahan dibuatnya.

“Kau sangat cantik, Ratna.” Kataku akhirnya dengan plong.

Dia tersenyum dan mencubit tanganku dengan manja. Jantungku makin kuat debarannya. Secepat itu kupeluk dia seolah mengusir dingin. Terus makin erat kupeluk dia. Tak lama, kusentuh wajahnya. Tak terasa kulumat perlahan bibirnya. Ratna diam terperangah. Celanaku basah tak terkira.

* * *

“Nihyang, ayo cepat….!” terdengar olehku suara. Sepertinya aku kenal. Tapi rasa nikmat itu. Tak mau ku diganggu. Dan aku pun melayang di udara. Indah, sungguh indah. Wajah Ratna yang cantik, senyum Badik yang manis ada dipelupuk mata.

“Nihyang…” suara-suara masih kudengar. Tapi aku tetap melayang di udara.

Oktober 2003 - 16 April 2004


Mata Belut


Di antara rimbunan semak dan pohon kenari, ia mematung menghadap gerbang langit. Menancap di samping kirinya, kayu panjang dari jenis damar laut. Tentu saja berat dan beban.

Ia senantiasa berbincang pada angin, pada gunung dan juga laut. Laut yang jaraknya bermil-mil dari tempatnya berdiri. Ia akan berkata-kata, terus berbicara hingga kita akan mengiranya sebagai orang sinting yang kehilangan diri sendiri. Lelaki itu akan seperti itu, hingga mata kiri langit yang terang karena api, pudar dan tidur dalam gelap.

Matari, namanya. Biar kuceritakan, rambutnya ikal dan menjuntai hingga ke ujung pantat. Matanya menyipit diujungnya. Secara keseluruhan kita seolah-olah akan diingatkan oleh sesuatu. Sesuatu yang disebut-sebut orang sebagai mahluk hidup. Mahluk itu biasanya berdiam di rongga-rongga tanah. Ia akan menyembul dari lubang-lubang kecil di persawahan. Warnanya hitam dan licin. Mulutnya kecil dan unik. Dan mata itu mirip mata belut. Licin, hitam, bulat, kecil dan unik.

”Kau tahu.” Kata Coan, sahabatku pada suatu hari.

”Mata lelaki atau mata perempuan, tepatnya mata manusia yang meniru mata belut, sifatnya kurang lebih sama. Licin, sulit dipegang ekornya. Tidak bisa dipercaya.”

Aku hanya mengerjabkan mata. Seolah mataku ini mata yang ia katakan itu. Juga kuandaikan lagi kalau mataku ini bukanlah seperti mata mahluk yang licin, hitam, kecil, mengkilat kecoklatan dan tentu saja unik.

”Ah, kau ada-ada saja. Jangan mengukur sesuatu dari fisik seseorang. Penampilan luar tidak selalu menunjukkan keadaan yang sebenarnya.” Kilahku dengan hati yang kurang pasti. Sebab memang pernah kudengar cerita-cerita orang tua tentang tanda-tanda badan, kebanyakan benar tetapi ada juga kalanya tidak sama sekali.

”Kau akan buktikan sendiri nanti.” Coan mengakhiri ucapannya dan pergi menjauh. Ia tak kutemui beberapa purnama. Kadang aku ingin mengiriminya berita, namun entah ke mana harus dilayangkan. Coan benar-benar menjauh, seolah menyesali keraguanku tentang mata belut milik lelaki itu.

Jiwa ini senantiasa dihinggapi rasa penasaran dengan mata belut milik lelaki itu. Mata yang menyiratkan sesuatu. Mata yang membawaku pada angan-angan yang jauh. Jauhnya seperti Coan meninggalkanku.

Mata lelaki yang sering berbicara itu, akan kudapati kalau aku dekat dengannya. Mengintipnya diam-diam di antara semak belukar. Atau sesekali mencoba berbicara padanya. Dan dia, dengan matanya yang sipit menyudut, dan berbinar di tengahnya, dan hitam mengkilat dalam kilasan pandangannya akan menekur beberapa lama. Barulah jika ia mendapati sesuatu dari benaknya secara pasti, mulutnya akan mengeluarkan suara. Ia berkata, terus berkata seolah aku ini adalah angin, laut, gunung, dan mungkin hantu. Ia akan berkata-kata terus seperti itu, sampai mata kiri langit yang terang karena api, pudar dan tidur dalam kegelapan, atau mata kanannya akan memutih karena bulan memucat diterpa sinar matahari yang merangkak menuju tangga langit.

Lalu apa yang dapat dilanjutkan kemudian, jika ia sudah meracau. Berbicara atas nama diri sendiri. Tak pernah mendengarkan orang lain. Tentulah ia kami akan mengatainya sebagai manusia gila. Lelaki bermata belut yang tak punya ingatan. Dan kami akan segera pergi meninggalkannya begitu saja. Namun ia akan diam manakala semua sudah sepi. Pernah suatu kali kudengar ia berkata seperti ini.

”Oh..., kalian semua sudah pergi meninggalkan aku seorang diri. Sama ketika Jiwa meninggalkanku. Rasanya seperti ini. Pedih dan perih. Tak akan ada orang yang sanggup mendengarkan aku, kecuali angin, bulan, matahari, laut dan gunung. Mereka diam. Hanya diam. Dan itulah yang kumau.”

Pikiranku bertanya-tanya, siapakah Jiwa yang disebutnya itu. Adakah ia manusia? Orang yang pernah bersentuhan dengannya, ataukah tokoh yang ia ciptakan sendiri, tokoh yang ia persamakan dengan gunung, matahari dan laut. Mengapakah lelaki bertubuh jangkung, dengan janggutnya yang melengkung dan matanya yang sipit menyudut dengan kilat mata seperti belut itu setiap waktu bertingkah aneh. Orang-orang menjauh darinya. Juga Coan yang menganggap lelaki ini tak bisa dipegang ekornya, turut serta menjauh. Alangkah malang nasibnya.

Bukankah ia hanya berbicara. Jika tak suka didengar, maka pergilah. Namun tak perlu diasingkan. Hingga ia hanya bicara dengan keheningan, dengan sesuatu yang bukan manusia.

* * *

Aku adalah angin, masuk menusuk ke celah pori-porimu. Merasuk ke dalam sumsummu dan mengalir dalam darahmu. Aku adalah tanah yang dengannya bisa tumbuh segala kehidupan. Kau akan mengambil sari pati dan menikmati segalanya dariku. Aku adalah besi yang berubah jadi senjata.. Aku adalam lautan yang menyimpan segala rahasia bumi. Aku adalah kumpulan atom dan energ itu sendiri. Dan aku adalah pencipta dan penghancur segalanya. Aku adalah hu...!

Begitulah ia, lelaki bermata belut dengan penyangga dari kayu damar laut yang ia ketuk-ketukkan ke tanah. Penyangga sebagian beban tubuhnya itu akan menancap, tegak, mematung seperti ia berdiri di sampingnya. Lelaki berjanggut melengkung itu akan berbisik, berteriak dan sesekali mengumpat, meracau ke segala arah. Kepada gunung, kepada laut yang jauhnya bermil-mil, kepada bulan dan bintang-bintang, kadang juga pada matahari. Yang pun kadang berceloteh pada rumput dan bebatuan.

Malam bergerak merambat secara perlahan. Desau angin sesekali terdengar. Cecak-cecak berdecak beberapa kali secara beruntun. Mungkin seseorang akan datang. Dan benar, pintu dari kayu mahoni yang mulai melapuk itu memberi tanda. Ia diketuk seseorang tapi entah siapa. Pintu diketuk lagi.

”Siapa di luar?” Tanyaku memastikan.

”Aku.” Jawab suara itu sangat tegas.

Aku mengingat suaranya yang berat dan tegas. Dia ! Ya, seseorang yang dinanti telah datang. Semoga aku tak salah dengar. Aku membatin penuh harap.

”Ya, segera kubuka.” Cepat kusahut suara itu.

Bergegas kuhampiri pintu. Palangnya kuangkat. Kait pengunci dengan sigap kubuka. Aku mendapatkan teori mengunci pintu dari seorang teman. Pintu ini hanya dibentuk sederhana. Selebar yang kita mau. Tak usah diberi pegangan, biarkan polos seperti dinding lainnya, seolah terkait dan tak bercelah.

Benar, dia, lelaki yang kunanti itu berdiri tegap menantiku.

”Apa kabarmu?” Tanyanya ramah.

”Seharusnya aku yang bertanya lebih dulu.” Jawabku sambil menyambut jabatan erat darinya. Erat sekali pegangannya, sampai tanganku mengeluhkan rasa sakit.

Kulihat tubuhnya makin tegap. Namun kulitnya yang gelap, semakin terlihat beringas karena jambang membelukar tumbuh di wajahnya. Bajunya juga lusuh dan bau.

”Ada apa denganmu?” Tanyaku penasaran.

Coan hanya diam. Tak segera menjawab. Ia hanya melihatku penuh selidik dan juga rasa rindu. Aku menangkap sesuatu yang coba ia sembunyikan.

”Katakanlah, aku mau tahu.” Rengekku lagi sebagaimana biasanya. Ia mendesah berat. Sesuatu disimpannya begitu erat. Ia berat sekali mengatakannya. Namun akhirnya karena mataku terus melihatnya, ia tersudut dan mengakui juga.

”Aku telah membunuhnya.” Ungkapnya dingin.

Aku terkejut dan tak mampu meneruskan kata. Namun aku harus tahu, mengapa begitu lama ia pergi meninggalkanku kini tiba-tiba hadir justru pengakuan mengerikan harus kudengar. Ada apa ini. Siapa dia sebenarnya. Mengapa harus membunuh. Siapa yang dibunuhnya. Beribu tanya dan rasa takut yang tiba-tiba hinggap datang mendera. Oh, kepalaku serasa mau pecah. Tubuhku dingin dan lunglai.

”Siapa yang kau bunuh dan mengapa harus dibunuh?” Akhirnya aku bicara juga.

Coan menatapku tajam. Matanya tepat menusuk jantung. Aku semakin tak berdaya dibuatnya. Segera kualihkan pandanganku, mencari-cari tempat berlari. Dinding yang keropos, bangku yang tak beraturan letakknya juga vas bunga yang kosong. Ah, aku dikejar pandangannya. Aku tak mampu membalasnya. Tapi aku harus tahu.

”Siapa yang kau bunuh!” Tanyaku meninggi, mencoba mencari titik pijak di antara kami.

”Lelaki bermata belut itu.” Jawabnya singkat.

”Apa?!”

”Ya, dia sudah mampus ditanganku baru saja. Satu jam setengah yang lalu, dia kutinggalkan di tempatnya biasa berdiri.” Coan menjelaskan.

”Oh...!” Aku berseru. ”Apa salahnya padamu?” Tanyaku terbata dan hampir-hampir tak bersuara.

”Apa salahnya padaku? Oh ya, sebuah pertanyaan yang bagus. Dia, lelaki bermata belut yang menarik perhatianmu itu adalah lelaki yang tak punya hati. Dia pergi meninggalkan lima orang anak kecil dan seorang perempuan pesakitan. Ia pergi dan tak mau kembali. Ia telantarkan anak istrinya dalam kemelaratan dan kehinaan yang luar biasa. Dan aku, aku adalah salah satu dari kelima anak yang menderita itu.” Coan berkata panjang lebar.

Aku terperangah, tak tahu harus bagaimana. Sakit hati lalu balas dendam. Apakah cukup alasannya membunuh. Coan meneruskan tanpa kuduga.

”Dia jugalah yang memperkosa calon istriku. Waktu itu Yan sangat antusias mengikuti aliran keyakinan agamanya. Dia dianjurkan berdiam diri di suatu tempat untuk mencapai tingkat kesempurnaan jiwa. Dan Yan yang lugu itu mengikuti saja semua yang mereka perintahkan. Termasuk diantaranya menyerahkan dirinya untuk disucikan. Yan patuh karena dia yakini itulah aturan dan kebenaran. Lalu peristiwa itu pun terjadi. Atas nama keyakinannya, Yan diharuskan menyerahkan tubuhnya. Dan lelaki bermata belut itulah yang mengambilnya. Mulanya Yan tak mau, namun ia dipaksa penuh ancaman dan bujuk rayu. Kini Yan entah ke mana. Ia raib ditelan bumi, sementara lelaki itu semakin membuatku ingin menerkamnya saja.”

”Tapi kau tak berhak mengakhiri hidup orang lain!” Suaraku penuh marah.

”Kau sangat aneh!” Coan membantah sengit.

”Tidakkah kau dengar, lebih dari lima belas gadis telah menyerahkan keperawanannya atas nama kepercayaan mereka itu.”

Aku terkesima dan hampir-hampir tak percaya. ”Hampir semua kita melakukan persetubuhan atas dasar keyakinan.” Kataku sejurus kemudian.

”Ah aku tak mau membahas yang itu.” Coan berkelit.

“Lagi pula merekalah yang bodoh mengapa mau diperlakukan begitu.”

”Hahaha....Alangkah anehnya jalan pikiranmu.” Tawanya bernada ejekan.

”Mereka melakukannya bukan karena suka sama suka tapi karena paksaaan. Dan aku memang benar-benar tidak bisa menerima perbuatan lelaki itu yang telah menyakiti perempuan yang bukan cuma ibuku, namun juga calon istriku.”

Selesai membentakku, dengan penuh amarah dan kebencian lelaki yang lama kunantikan ini pergi sambil menghempaskan daun pintu.

Sei Batanghari, Juli 2007.