Ceruk Bukit Kapur



Angin begitu dingin membalut kulit. Pada malam setenang ini, ketika matahari lelap dalam tidur, dan bulan perlahan menyembul dibalik lipatan tirai awan, suara pukulan rapai raya terdengar memenuhi udara di Buluh Simpang Empat. Kepak burung hantu yang terbang ke udara terasa lain dari biasa, aneh dan meremangkan bulu roma. Adakah janji kakek akan ditunaikan ?

Kakek telah berjanji menceritakan sesuatu tentang diriku. Cerita yang dipendamnya sekian puluh tahun lamanya. Cerita yang menyiksa hatinya. Kakek amat menderita dengan endapan kisah itu. Dan aku akan menagih janjinya. Janji akan sesuatu yang menyangkut diriku dan nasib ibuku.

“Kakek, mengapa teduh matamu seperti pohon beringin?”

Resah kutangkap dirinya dalam remang bulan malam ini. Tak biasanya. Saat kucuri sinar matanya yang memantul, aku dihinggapi rasa ngeri. Dadaku sesak seperti melihat hantu. Hatiku penuh dengan bisik. Mungkinkah keteduhan itu hanya kelambu?

“Kakek, antarkan aku menemui Ibu di Ceruk Bukit Kapur.”

“Jangan, manis. Ceruk Bukit Kapur adalah ceruk kematian. Bukan saja ibumu yang di sana. Hampir semua perempuan di tempat ini.”

“Semua perempuan di tempat kita ini ?”

“Husst ! Jangan kuat-kuat membicarakannya. Subversif.”

“Subversif ? Ah, bahasa yang tak kukenali wujudnya, Kakek. Itu hanya tuduhan. Hanya cermin kebodohan. Bukankah Ibu dan semua orang yang mengaku sebagai perempuan dipertemukan pada ceruk di bukit itu.”

“Ya, itu benar. Ceruk itu adalah pertemuan terakhir. Seperti saat ini. Barangkali juga sesudahnya, semua dipisahkan di ceruk itu. Sama seperti Ibumu.”

“Beritahu aku tentang ceruk itu. Bukankah Kakek pernah berjanji. Kini usiaku genap untuk menagih janjimu, Kakek.”

Hening berlalu begitu lama. Udara berubah menjadi dingin. Musim kemarau yang panjang membuat kakek batuk, flu dan asmanya pasti kambuh. Kakek menderita asma akut. Kakek menderita lahir dan batin sepanjang puluhan tahun.

“Aku tak mau membiarkan segala pengasingan menjadi penguasa tunggal atas raga dan roh ini, Kekasih. Aku ingin mati malam ini.”

“Tapi Kakek, bukankah membiarkanku dipungut keraguan sepertinya akan sama dengan mencintai kebodohan. Apakah Kakek tidak tahu bagaimana manusia tak berdaya ketika Iblis menggoda Hawa menemui pohon kuldi ? Mereka lemah Kakek. Hawa dan Adam sangat lemah. Hanya Iblis yang paling pintar dan paling mengerti situasi. Dia mengendalikan nenek kita menuju kesengsaraan. Kakek, ayolah bercerita tentang Ceruk Bukit Kapur.”

“Tidak semua orang paham, Kekasih. Termasuk juga Adam dan Hawa itu. Kalau ia tidak dinasihati Iblis, maka celakalah dia. Mereka akan mati dalam surga yang mulai tandus itu.”

“Kakek, kalau begitu aku tak sudi menjadi cucumu. Aku tak suka dipanggil cucu. Namaku Kekasih, bukan cucu. Aku tak mengenal siapa cucu. Dan aku tak mau menjadi cucumu. Semua orang kampung ini menghinaku karena aku cucumu. Semua teman di sekolah sering menghindariku. Bahkan aku tak bisa memilih hidup sebagai apapun di tanah kelahiranku. Aku benci padamu Kakek. Aku membencimu.”

“Tapi aku mencintamu. Sepenuh hidupku akan kuberikan untukmu. Kutunggu dua puluh lima tahun lamanya memendam cerita ini. Bukankah itu hebat, Kekasih. Dan kau akan menemui keasliannya. Bukan yang palsu seperti deritamu selama ini.”

Mata yang dibalut kelopak kendur itu begitu redup. Sinarnya hampir menyamai bulan keperakan. Kita tahu rembulan hanyalah pencuri bermuka kanak-kanak. Bulan mampu menyamar rupa untuk menguasai malam dan menyelimuti wajah aslinya. Bulan adalah mahluk yang mencuri sinar matahari.

Kakek tengah terbayang pada Cinta. Cinta, siapakah dirimu ? Mengapa engkau hadir saat Kakek hidup bersamaku. Mengapa kau bayangi hidup Kakek dan memenjarakan rasa ingin tahuku. Siapakah kau Cinta. Jika tak kutahu hingga penghujung malam ini, aku akan turut pula membencimu.

“Kekasih, Cinta itu mengajarkan pada semua orang yang papa tentang hidup. Tentang arti menjadi binatang yang bernama manusia. Kekasih, seharusnya kau melihat Cinta dalam hidupmu.”

Daun-daun pisang yang disobek angin bergesek-gesek menimbulkan suara. Sebagian besar daunnya telah layu. Hampir semua berwarna coklat muda yang mulai sungkur dihempas-hempas angin dan kemarau yang panjang. Angin memang terlalu nakal pada daun pisang. Angin terlalu cemburu pada hijau daun pisang. Angin memang Si Pecemburu yang menghalau segala perintang.

Angin musim kemarau pada waktu ini juga memberitakan tentang kematian. Kematian yang berpuluh tahun lalu, kematian yang tak boleh diungkit. Kematian yang menimbulkan kegalauan dan balas dendam.

“Jika Cinta ikut dalam pengasuhan pertumbuhan dan perkembanganmu, Ia akan memberi energi lebih besar dari pada diriku yang renta. Tahukah kau siapa Cinta itu ? Cinta adalah wujud kebenaran yang tertanam dalam gelombang sejarah bangsa ini. Dia adalah lelaki dan sekaligus perempuan. Dalam dirinya mengalir segala kelamin. Kelamin manusia dan binatang. Kau tak mengenal Cinta, Kekasih. Cinta adalah sumber hidupku dan jalan yang kau lewati menuju kehidupan. Karenanya kau adalah cucuku.”

“Tentu tidak selalu, Kakek. Cucu adalah tutur yang memberi rekat dan jarak yang membentuk perilaku. Bukankah matamu yang teduh sebagai kelambu adalah jarak intai dari manusia manapun di bumi ini. Kau adalah Kakek. Namamu adalah Kakek. Kau sempurna menjadi Kakek. Tapi… aku mencintai mata kelambumu, Kakek.”

Cinta, apakah kau melihat binar cerdas matanya ? Cinta, matanya seperti milikmu. Bibirnya sama seperti ibumu dan dagunya runcing seperti milikku.

Mata tua itu melayang jauh. Jauhnya menembus milyaran waktu. Berputar dalam arus hentakan yang hebat. Mata teduhnya berselimut kelopak kendur, berlipat-lipat dan kini menitikkan air mata.

“Mengapa menangis, Kakek?”

“Aku ? Aku tidak menangis. Air mata yang menetes ini hanyalah bukti sisa hidup. Cinta direnggut oleh manusia licik dan bodoh. Mereka datang berbondong-bondong dari segala penjuru angin. Membawa parang lentik, rudus, tombak, kampak, rencong dan pistol. Mereka merebut paksa dari naunganku. Mereka membiarkanku dalam derita yang panjang ini, Kekasih. Kau selamat dari kepungan dan niat busuk mereka. Sebagian dari teman-teman kecilmu mati. Mereka menusuk atau membakar bayi-bayi yang lahir. Membunuh anak-anak kecil yang tak berdosa. Mereka membunuh nenek-nenek mereka sendiri yang mati terkencing-kencing karena tak mengerti apa salahnya. Kau Kekasih, masih hidup. Salah satu dari jutaan orang yang tak selamat hidupnya. Kau dibawa lari oleh seorang lelaki bertutup muka. Sampai kini tak kukenal siapa dia. Dialah yang meletakkanmu ke sebuah gua sampai aku bertemu denganmu.”

“Jika Cinta dibawa maut, dan maut menjemput semua perempuan, aku akan ikut beserta maut, Kakek.”

“Oh, jangan ! Jangan cucuku. Kau adalah benih yang harus tumbuh.”

“Percuma saja, Kakek. Cinta juga menemui mati dalam ceruk itu. Semua orang tahu, bahwa ceruk adalah malaikat pencabut nyawa. Ceruk Bukit Kapur adalah saksi. Tahukah Kakek, jika Cinta masih bersamamu, maka tak akan pernah lahir ketulusan di sini. Kau hanya dirasuki oleh bayangan masa lalu yang mengangkatmu menjadi pembual. Apakah Kakek masih takut pada orang-orang?”

“Tidak! Aku tak pernah mengenal takut. Bahkan bagaimana takut menjelma dalam diriku sendiri, aku tak tanda. Aku hanya menanti apakah keberanian datang dengan bersendiri.”

Malam semakin berkabut. Udara menusuk-nusuk tulang. Dingin begitu tajam menyengat tubuh. Menggigil pun sepertinya basa-basi. Bukankah tubuh kita penuh dengan gerak basa-basi ? Karena basa-basinya segala gerak disebut sebagai tari. Oh, manusia, binatang yang berfikir, begitu sempurnanya engkau berbasa-basi. Dan kami orang-orang yang compang-camping tak berumah bagaimana mungkin harus tidur bersama dingin. Sebab kamilah yang sebenarnya melahirkan hawa dingin. Dingin yang menakutkan. Dingin yang akan melahirkan benturan.

* * *

Dua puluh lima tahun lalu. Semua orang tahu siapa maling agung itu. Segerombolan pengacau keamanan yang menamakan dirinya pembela sila-sila dari tata sila yang ternyata tak memiliki susila. Sakit hati, buruk sangka, balas dendam, keangkuhan, membunuh dalam lipatan, kedengkian, cemburu, iri hati, memanfaatkan adalah bentuk-bentuk keterampilan jiwa untuk menyelesaikan segala sengketa.

“Dan Ibu ? Dimanakah ia berada ?”

“Ibumu berada dalam segala sengketa.”

“Apakah Ibu seorang oportunis yang lentur seperti penari balet ?”

“Oh, tidak begitu Kekasih. Cinta seorang pemberani. Mulutnya lantang. Matanya nyalang. Sikapnya satria. Bukankah sudah kusebut bahwa ia adalah kumpulan segala kelamin. Manusia yang terdiri dari dua unsur kelamin adalah sangat sempurna dan maha.”

“Maha hanyalah milik Tuhan, Kakek.”

“Tidak Kekasih ! Maha adalah milik kemanusiaan. Tuhan tak pernah menyatakan diri sebagai yang maha. Manusialah yang menganugerahkannya. Manusia itu keliru menyebut. Tahukah kau, kekeliruan yang fatal ini adalah sumbu segala keonaran.”

“Oh, Kakek. Aku tak mau meneruskan perkataanmu. Kita akan dihalau dari tempat ini.”

“Bukankah kini kita tak bertempat tinggal ? Kita tak punya rumah ? Tak ada tempat persinggahan, Kekasih. Hanyalah kebenaran yang kita tuju. Dan ibumu telah mendahului kita beberapa puluh tahun yang lalu. Apakah kau tak rindu ?” Mata Kakek kulihat penuh getar rindu.

Kata orang ibumu seperti nabi. Mengajak semua yang miskin, mengajak para buruh agar berjuang memenggal nasib. Nasib adalah kehinaan yang menelantarkan peruntungan. Nasib adalah kata yang harus dilawan wujudnya. Nasib adalah pecundang kehidupan. Tak semua orang bernasib baik, cucuku. Tak semua orang hidupnya tenang. Dan tak semua manusia akan hidup sama rata berkecukupan. Nasib memisahkan jarak antara yang satu dengan yang lain. Itulah sebabnya ibumu ingin menjadi nabi. Yang memotong tali pusar nasib si miskin dan buruh-buruh melarat. Mereka berbondong-bondong mendengar ceramahnya. Mengikuti gerakannya. Dan mereka bergembira setelah bersamanya.

Memotong jalur nasib adalah ibadahnya manusia. Itulah kata-kata ibumu yang sering kudengar ketika lonceng kematiannya hampir dekat. Karena keberaniannya, kecerdikan akalnya, ia dan seluruh orang yang mengikutinya diarak beramai-ramai oleh pemuda-pemuda yang datang dari tempat jauh, mengikat kedua tangannya, memperkosanya, memukuli wajah dan teteknya, menarik-narik rambutnya, lalu menggunduli mereka di jalan-jalan dan pusat keramaian. Tahukah kau Kekasih, Ibumu dan semua yang bersamanya tak satu pun menangis atau menghiba agar berkurang rasa sakit dari cambuk dan penganiayaan itu.

Mereka tersenyum, mereka terus berkata-kata. Lalu, mulut mereka pun dirobek, ditutup dengan plaster. Karena mereka tetap bergerak, semua digiring ke ceruk Bukit Kapur. Satu demi satu tubuh dibenturkan ke dinding cadas dan dijatuhkan pada kedalaman ceruk. Dan orang-orang kampung ini setiap malam sering mendengar suaranya. Mendengar pidato-pidatonya. Mendengar kata-kata lantang dari mulutnya. Tetapi semua orang kini lari meninggalkannya. Takut dengan seruannya. Perempuan-perempuan yang mati di ceruk Bukit Kapur dikenang sebagai hantu merah. Mereka yang mati pada ceruk Bukit Kapur di Desa Puenteut, Aceh Utara adalah kader dan simpatisan Gerakan Wanita Indonesia. Kau Kekasih, adalah buah cintanya.

“Kakek, mengapa mata teduhmu kini bicara ?”

Menjelang senja di Sampali, 23 Mei 2002.

No comments: