Tunggal Sak Kapal

Setiap hari raya keluarga berkumpul di rumah kakek dan nenek dari pihak ibu. Sebuah desa kecil bernama Tanah Jawa itu akan rutin dikunjungi setidaknya sekali dalam setahun. Keluarga besar kami berasal dari Jawa, tetapi karena nenek tidak pernah bercerita tempat asalnya, maka tidak seorang pun di antara kami yang tahu dari Jawa mana ia berasal.

Kakekku bernama Kasbola, tunggal sak kapal dengan nenek. Mereka dibawa ke tanah bermantra ini sebagai koeli kontrak pada perkebunan teh yang baru mulai dibabat.

Sopo jenengmu, Nduk?" Tanya kakek pertama kali saat bertemu nenek dalam geladak kapal. Sebuah pelayaran yang sangat panjang menuju tanah harapan, kata sebagian orang.

* * *

Subuh baru saja akan berubah lebih terang, Katmini diperintah ibunya pergi ke sebuah warung kecil untuk membeli bawang merah, bawang putih dan sekaligus minyak makan. Sembari memegang botol kecil dengan penutup dari daun pisang ia berjalan dengan balutan kain panjang. Kakinya yang kecil selangkah demi selangkah menuju ke warung Mbok Nem.

Entah mengapa ia tidak enak pagi ini. Ada sesuatu yang membuatnya takut. Namun ia tak tahu sesuatu yang mana dan seperti apa. Ia ingin menangis, meraung dipelukan ibunya. Namun ibu yang ada di rumah, di mana ia tinggal menetap bersamanya, tak pernah sudi menyentuhnya sekalipun. Perempuan yang ia panggil ibu itu hanya mau menyuruh, tak lebih dan tak kurang.

Katmini, gadis kecil usia sepuluh tahun itu tak mengerti harus bagaimana. Bahkan ia juga tak sadar seseorang dari tadi memperhatikannya, menguntitnya dan kini tepat di belakangnya. Jarak antara mereka kini hanya dua galah panjangnya.

”Cah Ayu..,” panggil sebuah suara dari belakang. Katmini kaget luar biasa. Ia tak pernah dipanggil dengan sebutan itu. Ia bahkan tak mengira akan ada orang yang sudi memanggilnya dengan panggilan yang membuatnya ingin jatuh saja. Namun ia seketika juga sadar benarkah suara dari arah belakang itu diperuntukkan padanya.

”Oh Gusti Pangeran, ampunilah hamba yang sedang kacau ini,” bisiknya dalam hati.

”Cah Ayu..,” kata suara itu lagi. ”Berpalinglah kepadaku. Aku ada di belakangmu,” suara itu mencoba memastikan bahwa ia benar-benar sedang meminta gadis kecil yang tengah berjalan sendiri itu berbalik melihatnya.

Jantung Katmini berdegup kencang. Tubuhnya hampir saja jatuh membentur tanah. Sedetik ia melayang, namun ada kekuatan lain yang membuatnya tetap tegak mematung. Kat hanya bisa menunggu kalau-kalau suara itu benar diperuntukkan padanya. Gadis kecil ini juga berharap agar suara itu lebih mendekat, sedekat antara kuping dan mulutnya. Harapan yang begitu lucu.

Terjadilah apa yang diharap Katmini. Suara itu mendekat. Jaraknya hanya sejengkal.

”Oh...!” ia terpekik, pucat dan panik.

Si pemilik tersenyum dan memandang lekat tepat ke titik matanya. Kat melihat tampang lelaki yang berada di depan mukanya dengan penuh ketakutan. Kumisnya tipis, hidungnya mancung dan kecil. Bibirnya tipis. Ada tahi lalat di dagu sebelah kanannya, titiknya sebesar kuku jari bayi.

”Siapa namamu, Cah Ayu?” lelaki itu bertanya lembut pada Kat.

Jantung Katmini semakin keras debarannya. Ia belum mampu menjawab dengan cepat. Botol yang dipegangnya hampir saja jatuh. Tapi ia berusaha keras menata diri.

”Hayo siapa?” tanya si pemilik tahi lalat itu sekali lagi.

”Kek..kek..Katmini, Pak.” Jawabnya gagap.

Lelaki itu menggamit tangan Kat dan menyentuh lembut telapak tangannya. Ia menatap Kat kembali dan berkata, ”ikutlah bersamaku, sebuah tempat impian menantimu. Kelak kau akan jadi orang terpandang, Orang kaya . Orang hebat. Emasmu banyak, rumahmu juga besar.. Kain panjangmu juga akan bagus-bagus, tidak kucel seperti ini. Ayo, ikutlah bersamaku, Cah Ayu.”

Kat diam terpesona. Matanya terus menatap mata lelaki itu. Mata Kat terus mengikuti ke mana gerak tubuh lelaki itu berlalu.

* * *

Tiupan angin yang lembab menyapu tubuh-tubuh yang berjejer seperti susunan ikan gembung rebus dalam keranjang bambu. Tubuh-tubuh itu lusuh dan apek. Berhari-hari lamanya mereka diombang-ambingkan gelombang lautan. Tak seorang pun yang berani berteriak minta tolong karena ketakutan didera keadaan yang serba tak menentu. Tak seorang pun berani bertanya pada orang di sebelahnya, karena sama-sama baru dikenal. Di geladak kapal, mereka dihalau ombak sepanjang waktu. Kapal itu menuju suatu pulau antah berantah. Sebagian ada yang mengatakan pulau bermantra, sebab tanah itu adalah tanah yang dimantrai, tanah yang sakral.

Kat, gadis kecil yang disuruh ibunya membeli minyak makan, ternyata ada di antara kumpulan manusia lusuh dan bau itu. Ia entah pada jejeran yang ke berapa, sebab agak sulit menghitungnya. Ia juga tidak tahu harus bertanya pada siapa. Selain Kat gadis pemalu, ia benar-benar tak mengerti akan apapun. Ia kelihatan bingung, sedih dan merana. Satu-satunya hal yang dia ingat adalah dirinya bernama Katmini. Dan botol yang masih berada dalam genggamannya ini adalah botol minyak makan kepunyaan ibunya. Mungkin wanita itu masih menantikan kepulangannya. Kepulangan Kat yang bukan anak kandungnya. Ia mengakui dalam hati kalau Katmini adalah anak yang baik, penurut, dan pandai menyenangkan hatinya. Tapi bagaimanapun, Katmini tak pernah bisa disayanginya sebagaimana ia menyayangi Sundari atau Bhatara.

”Pasti ibu kecarian,” Kat bertanya dalam hati. Ia segera mengingat sesuatu, ia mencoba meraba-raba dadanya yang kerempeng. Ia memasukkan tangan kanannya ke bilik-bilik baju. Kat menemukan uang logam kecil mungil yang menempel cukup kuat dikulitnya yang lembab karena keringat. Katmini tiba-tiba teringat sesuatu. Ya, lelaki berkumis tipis yang memanggilnya dengan sebutan Cah Ayu itu memegang lembut telapak tangannya yang kasar dan spontan ia ikut saja dengannya ke mana pun lelaki itu pergi.

”Oh, di manakah dia. Diakah yang membawaku ke tempat ini?” Kat bertanya-tanya dalam hati. Tapi Katmini merasa pusing. Badannya lemas, karena tak makan beberapa hari. Hanya minuman saja yang bisa membuatnya bertahan. Itupun ia dapatkan dari pemberian orang-orang yang tidak ia kenal. Minuman itu dibagikan secara acak dan tentu saja tidak merata. Namun ada juga beberapa di antara tumpukan manusia-manusia kumuh ini mendapatkan sesuatu yang bisa dimakan. Entah dari mana, mungkin mereka sudah mempersiapkannya sejak awal. Kat tak tahu ia berada di mana dan akan ke mana. Ia hanya tahu melalui ucapan lelaki itu akan pergi ke suatu tempat yang banyak emasnya. Ah, Kat sama sekali tak tergiur dengan emas. Walaupun ia pernah melihat Bu Misenah, teman ibunya pernah mengenakan benda berbentuk kalung yang berwarna kuning di lehernya. Tapi Kat sama sekali tidak terpikat.

Gadis manis berkulit kuning langsat ini tak sadar, seseorang sejak tadi memperhatikannya. Orang itu duduk tak jauh dari tempat Kat berada. Matanya yang besar dan merah, entah karena sakit mata atau terlalu berani menantang hembusan angin laut, tampaknya senang memperhatikan gadis kecil dengan kain panjang kumal yang membelit tubuhnya. Kat sendiri tak merasa diperhatikan oleh siapa pun.

Waktu terus berpacu. Siang dengan cepat diganti oleh malam. Udara yang lembab basah menyapu setiap apa saja yang dilaluinya. Kulit terasa semakin lengket dan asin. Kat menangis terisak-isak, sambil mengingat satu persatu semua orang yang pernah dikenalnya di kampung. Ia merasa kesepian. Tak satu pun yang bisa diajaknya bicara. Tak satu pun dikenalnya di tempat yang membuatnya sangat terasing. Oh, betapa terpencilnya Kat di tengah-tengah ratusan manusia kapal yang sebentar lagi tiba di tanah impian. Karena letih dan rasa lapar yang luar biasa, Kat mencoba mengusiknya dengan tidur.

Tapi sesuatu yang aneh dan tak terbayangkannya terjadi. Kat merasa ada tangan yang menelusuri dadanya. Mencoba memijit-mijit puting susunya. Kat merasa jengah dan berteriak kesakitan. Ia terbangun. Didapatinya sesosok manusia berkumis melintang sedang ingin memeluknya. Kat berusaha menepisnya dan bergerak sedapat mungkin, tapi malam yang gelap menghalanginya. Kat mencoba menjerit sekuat-kuatnya, tapi anehnya tak ada satu orang pun mendengarnya atau berusaha menolongnya. Lelaki itu semakin kuat mencengkeramnya. Kat meronta-ronta. Kain panjangnya tersingkap. Ia ingat membawa botol dan mencoba menggapai botol yang letaknya agak jauh dari posisinya mempertahankan diri. Botol itu menggelinding ke segala arah sesuai dengan hempasan yang diterimanya. Kat dengan tenaga yang lemah terus berusaha mengelak dari apa yang akan diperbuat laki-laki kasar itu padanya. Namun tanpa diduga, sebuah tendangan cukup keras menghempaskan laki-laki yang mencengkeramnya kuat itu hingga ke dinding kapal. Kira-kira jarak antara tendangan dan hempasan sekitar tiga meter.

Tanpa basa-basi, laki-laki yang terpelanting itu bangkit dan mencoba menghajar seseorang yang berdiri tegak menantangnya. Terjadi perkelahian seru. Beberapa orang mulai sadar akan apa yang terjadi di sekeliling mereka. Namun sepertinya kejadian itu sudah biasa. Mereka hanya duduk dan melihat siapa yang menang. Sesudahnya mereka akan kembali seperti biasa, tidak peduli dan kelihatan apatis. Namun dalam hati, mereka sangat berharap perjalanan panjang yang sangat menyiksa dan melelahkan ini segera berakhir. Dan pertarungan itu adalah hiburan yang cukup menyenangkan hati. Mengusir rasa gelisah dan harapan yang tak pasti.

Katmini, gadis kecil yang malang itu masih terus memperhatikan pertarungan laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Dalam hati ia sangat bersyukur dan berterima kasih pada laki-laki yang wajahnya tak begitu jelas dilihatnya karena sedang sibuk menendang dan mengelakkan pukulan. Ia berharap laki-laki yang menolongnya itulah yang menang, dan laki-laki yang berkumis melintang itu kalah dan kalau bisa mati saja. Ia tak menyangka akan mendapati kejadian yang serupa ini. Tak pernah sekalipun terlintas dibenaknya akan hal-hal yang aneh.

Gerakan kedua lelaki itu kelihatan semakin melemah, mungkin karena makanan yang diberikan sangat kurang atau karena batas tenaga keduanya hanya sampai di situ. Lelaki berkumis melintang memberikan isyarat menyudahi perkelahian. Lelaki yang satunya lagi sepertinya setuju karena kelihatan ia pun sangat letih benar. Pertarungan telah usai. Tak ada yang menang dan yang kalah. Para penumpang kapal kembali tergeletak tak berdaya.

Di langit hanya diterangi beberapa bintang malam ini. Suasana begitu tenang. Ombak tidak terlalu besar. Hanya bunyi mesin yang mengepulkan asap hitam yang terus memacu baling-baling kapal di dalam air agar terus membelah lautan. Sesekali ada yang bernyanyi. Mengisahkan ketidakpastian dan hidup yang sunyi.

Lelaki yang tak dikenal itu mendekati Kat yang sedari tadi duduk bersandar memperhatikannya. Kat ingin segera bangkit dan mengucapkan terima kasih, tapi sepertinya tenaganya juga habis. Habis karena rasa takut yang belum reda dan habis karena lapar yang luar biasa. Kat hanya bisa menatapnya dan itu pun tak begitu fokus.

”Kamu tidak apa-apa, Nduk?” Suara lelaki itu menyejukkan hati Katmini. Ia spontan mengangguk.

Matur nuwun sanget, Pak.” Ucapnya lirih.

”Ya, sama-sama. Lelaki itu memang senang mencari gara-gara. Kelakuannya brutal. Di sebelah sana dia juga pernah berbuat begitu pada seorang perempuan yang lebih tua sedikit dari kamu.” Kat berusaha mendengarkan keterangannya dengan seksama.

”Saya tidak sempat menolongnya karena tahunya juga dari orang-orang.” Lanjutnya lagi.

”Lalu bagaimana perempuan itu, Pak?” Kat memberanikan diri bertanya, entah mengapa tiba-tiba saja ia punya keberanian seperti itu.

“Ya begitulah, Nduk. Entah kenapa, mungkin dia merasa malu karena sudah dinodai secara paksa oleh laki-laki tadi. Suatu malam, ketika orang-orang sibuk dengan pikiran mereka masing-masing perempuan itu awalnya terlihat memanjat salah satu dinding kapal, tapi kemudian secara tiba-tiba dia menceburkan dirinya ke laut.”

“Oh!” Kat memekik kaget dipenuhi rasa ngeri.

”Sudahlah, Nduk. Itu takdirnya. Yang penting kamu selamat. Jenengmu sopo, Nduk?” Tanyanya kemudian mengalihkan rasa takut gadis yang ada dihadapannya. Katmini malu-malu menjawabnya. Ia merasa seolah-olah begitu dekat dan sudah mengenal laki-laki penolongnya ini. Entahlah mengapa sampai demikian. Ia berpikir kalau laki-laki di sampingnya adalah abangnya. Katmini ingin hidup bersamanya, bahkan ke mana saja. Ia rindu sekali berbicara. Ia rindu kampung halamannya. Ia rindu bau harum bawang merah dan bawang putih ketika digoreng dengan minyak kelapa. Ia rindu teman-teman sepermainannya. Rindu Sugirah, rindu Astono, rindu Bude Kamisah, Pakde Trenggono dan semua, dan semua. Juga rindu pada Sundari yang suka mencubitnya hingga kulitnya kadang terkelupas, walaupun jika ibu tahu ia tak pernah memarahinya.

Bersama laki-laki penolongnya itu, Katmini telah melahirkan enam belas orang anak. Namun karena ketiadaan obat dan pengetahuan yang cukup, kedelapan anak-anaknya mati. Mati karena malaria, mati karena penyakit tipus dan yang paling sering mati karena disentri. Hanya satu orang yang mati waktu usianya berumur lima tahun karena gigitan ular berbisa. Selebihnya yang delapan orang telah melahirkan generasi baru dengan dua ratus cucu dan lima puluh canggah yang memadati sebuah perkebunan di kawasan Sumatera Utara.

Katmini tutup mata pada usia seratus tiga tahun. Lelaki penolongnya yang bernama Kasbola, selain seorang pendekar ia juga seorang dalang wayang kulit, lahir di sebuah kabupaten di Jawa Timur, Tulungagung pada permulaan tahun 1800. Ia mampu bertahan hidup hingga seratus tiga belas tahun lamanya. Mereka tidak pernah dicatat sebagai pahlawan penanam dan pemetik daun teh serta tembakau yang turut menyumbang devisa bagi republik.

Sei Batanghari, 23 Desember 2007, pukul 10.14 WIB.

No comments: