Mata Belut


Di antara rimbunan semak dan pohon kenari, ia mematung menghadap gerbang langit. Menancap di samping kirinya, kayu panjang dari jenis damar laut. Tentu saja berat dan beban.

Ia senantiasa berbincang pada angin, pada gunung dan juga laut. Laut yang jaraknya bermil-mil dari tempatnya berdiri. Ia akan berkata-kata, terus berbicara hingga kita akan mengiranya sebagai orang sinting yang kehilangan diri sendiri. Lelaki itu akan seperti itu, hingga mata kiri langit yang terang karena api, pudar dan tidur dalam gelap.

Matari, namanya. Biar kuceritakan, rambutnya ikal dan menjuntai hingga ke ujung pantat. Matanya menyipit diujungnya. Secara keseluruhan kita seolah-olah akan diingatkan oleh sesuatu. Sesuatu yang disebut-sebut orang sebagai mahluk hidup. Mahluk itu biasanya berdiam di rongga-rongga tanah. Ia akan menyembul dari lubang-lubang kecil di persawahan. Warnanya hitam dan licin. Mulutnya kecil dan unik. Dan mata itu mirip mata belut. Licin, hitam, bulat, kecil dan unik.

”Kau tahu.” Kata Coan, sahabatku pada suatu hari.

”Mata lelaki atau mata perempuan, tepatnya mata manusia yang meniru mata belut, sifatnya kurang lebih sama. Licin, sulit dipegang ekornya. Tidak bisa dipercaya.”

Aku hanya mengerjabkan mata. Seolah mataku ini mata yang ia katakan itu. Juga kuandaikan lagi kalau mataku ini bukanlah seperti mata mahluk yang licin, hitam, kecil, mengkilat kecoklatan dan tentu saja unik.

”Ah, kau ada-ada saja. Jangan mengukur sesuatu dari fisik seseorang. Penampilan luar tidak selalu menunjukkan keadaan yang sebenarnya.” Kilahku dengan hati yang kurang pasti. Sebab memang pernah kudengar cerita-cerita orang tua tentang tanda-tanda badan, kebanyakan benar tetapi ada juga kalanya tidak sama sekali.

”Kau akan buktikan sendiri nanti.” Coan mengakhiri ucapannya dan pergi menjauh. Ia tak kutemui beberapa purnama. Kadang aku ingin mengiriminya berita, namun entah ke mana harus dilayangkan. Coan benar-benar menjauh, seolah menyesali keraguanku tentang mata belut milik lelaki itu.

Jiwa ini senantiasa dihinggapi rasa penasaran dengan mata belut milik lelaki itu. Mata yang menyiratkan sesuatu. Mata yang membawaku pada angan-angan yang jauh. Jauhnya seperti Coan meninggalkanku.

Mata lelaki yang sering berbicara itu, akan kudapati kalau aku dekat dengannya. Mengintipnya diam-diam di antara semak belukar. Atau sesekali mencoba berbicara padanya. Dan dia, dengan matanya yang sipit menyudut, dan berbinar di tengahnya, dan hitam mengkilat dalam kilasan pandangannya akan menekur beberapa lama. Barulah jika ia mendapati sesuatu dari benaknya secara pasti, mulutnya akan mengeluarkan suara. Ia berkata, terus berkata seolah aku ini adalah angin, laut, gunung, dan mungkin hantu. Ia akan berkata-kata terus seperti itu, sampai mata kiri langit yang terang karena api, pudar dan tidur dalam kegelapan, atau mata kanannya akan memutih karena bulan memucat diterpa sinar matahari yang merangkak menuju tangga langit.

Lalu apa yang dapat dilanjutkan kemudian, jika ia sudah meracau. Berbicara atas nama diri sendiri. Tak pernah mendengarkan orang lain. Tentulah ia kami akan mengatainya sebagai manusia gila. Lelaki bermata belut yang tak punya ingatan. Dan kami akan segera pergi meninggalkannya begitu saja. Namun ia akan diam manakala semua sudah sepi. Pernah suatu kali kudengar ia berkata seperti ini.

”Oh..., kalian semua sudah pergi meninggalkan aku seorang diri. Sama ketika Jiwa meninggalkanku. Rasanya seperti ini. Pedih dan perih. Tak akan ada orang yang sanggup mendengarkan aku, kecuali angin, bulan, matahari, laut dan gunung. Mereka diam. Hanya diam. Dan itulah yang kumau.”

Pikiranku bertanya-tanya, siapakah Jiwa yang disebutnya itu. Adakah ia manusia? Orang yang pernah bersentuhan dengannya, ataukah tokoh yang ia ciptakan sendiri, tokoh yang ia persamakan dengan gunung, matahari dan laut. Mengapakah lelaki bertubuh jangkung, dengan janggutnya yang melengkung dan matanya yang sipit menyudut dengan kilat mata seperti belut itu setiap waktu bertingkah aneh. Orang-orang menjauh darinya. Juga Coan yang menganggap lelaki ini tak bisa dipegang ekornya, turut serta menjauh. Alangkah malang nasibnya.

Bukankah ia hanya berbicara. Jika tak suka didengar, maka pergilah. Namun tak perlu diasingkan. Hingga ia hanya bicara dengan keheningan, dengan sesuatu yang bukan manusia.

* * *

Aku adalah angin, masuk menusuk ke celah pori-porimu. Merasuk ke dalam sumsummu dan mengalir dalam darahmu. Aku adalah tanah yang dengannya bisa tumbuh segala kehidupan. Kau akan mengambil sari pati dan menikmati segalanya dariku. Aku adalah besi yang berubah jadi senjata.. Aku adalam lautan yang menyimpan segala rahasia bumi. Aku adalah kumpulan atom dan energ itu sendiri. Dan aku adalah pencipta dan penghancur segalanya. Aku adalah hu...!

Begitulah ia, lelaki bermata belut dengan penyangga dari kayu damar laut yang ia ketuk-ketukkan ke tanah. Penyangga sebagian beban tubuhnya itu akan menancap, tegak, mematung seperti ia berdiri di sampingnya. Lelaki berjanggut melengkung itu akan berbisik, berteriak dan sesekali mengumpat, meracau ke segala arah. Kepada gunung, kepada laut yang jauhnya bermil-mil, kepada bulan dan bintang-bintang, kadang juga pada matahari. Yang pun kadang berceloteh pada rumput dan bebatuan.

Malam bergerak merambat secara perlahan. Desau angin sesekali terdengar. Cecak-cecak berdecak beberapa kali secara beruntun. Mungkin seseorang akan datang. Dan benar, pintu dari kayu mahoni yang mulai melapuk itu memberi tanda. Ia diketuk seseorang tapi entah siapa. Pintu diketuk lagi.

”Siapa di luar?” Tanyaku memastikan.

”Aku.” Jawab suara itu sangat tegas.

Aku mengingat suaranya yang berat dan tegas. Dia ! Ya, seseorang yang dinanti telah datang. Semoga aku tak salah dengar. Aku membatin penuh harap.

”Ya, segera kubuka.” Cepat kusahut suara itu.

Bergegas kuhampiri pintu. Palangnya kuangkat. Kait pengunci dengan sigap kubuka. Aku mendapatkan teori mengunci pintu dari seorang teman. Pintu ini hanya dibentuk sederhana. Selebar yang kita mau. Tak usah diberi pegangan, biarkan polos seperti dinding lainnya, seolah terkait dan tak bercelah.

Benar, dia, lelaki yang kunanti itu berdiri tegap menantiku.

”Apa kabarmu?” Tanyanya ramah.

”Seharusnya aku yang bertanya lebih dulu.” Jawabku sambil menyambut jabatan erat darinya. Erat sekali pegangannya, sampai tanganku mengeluhkan rasa sakit.

Kulihat tubuhnya makin tegap. Namun kulitnya yang gelap, semakin terlihat beringas karena jambang membelukar tumbuh di wajahnya. Bajunya juga lusuh dan bau.

”Ada apa denganmu?” Tanyaku penasaran.

Coan hanya diam. Tak segera menjawab. Ia hanya melihatku penuh selidik dan juga rasa rindu. Aku menangkap sesuatu yang coba ia sembunyikan.

”Katakanlah, aku mau tahu.” Rengekku lagi sebagaimana biasanya. Ia mendesah berat. Sesuatu disimpannya begitu erat. Ia berat sekali mengatakannya. Namun akhirnya karena mataku terus melihatnya, ia tersudut dan mengakui juga.

”Aku telah membunuhnya.” Ungkapnya dingin.

Aku terkejut dan tak mampu meneruskan kata. Namun aku harus tahu, mengapa begitu lama ia pergi meninggalkanku kini tiba-tiba hadir justru pengakuan mengerikan harus kudengar. Ada apa ini. Siapa dia sebenarnya. Mengapa harus membunuh. Siapa yang dibunuhnya. Beribu tanya dan rasa takut yang tiba-tiba hinggap datang mendera. Oh, kepalaku serasa mau pecah. Tubuhku dingin dan lunglai.

”Siapa yang kau bunuh dan mengapa harus dibunuh?” Akhirnya aku bicara juga.

Coan menatapku tajam. Matanya tepat menusuk jantung. Aku semakin tak berdaya dibuatnya. Segera kualihkan pandanganku, mencari-cari tempat berlari. Dinding yang keropos, bangku yang tak beraturan letakknya juga vas bunga yang kosong. Ah, aku dikejar pandangannya. Aku tak mampu membalasnya. Tapi aku harus tahu.

”Siapa yang kau bunuh!” Tanyaku meninggi, mencoba mencari titik pijak di antara kami.

”Lelaki bermata belut itu.” Jawabnya singkat.

”Apa?!”

”Ya, dia sudah mampus ditanganku baru saja. Satu jam setengah yang lalu, dia kutinggalkan di tempatnya biasa berdiri.” Coan menjelaskan.

”Oh...!” Aku berseru. ”Apa salahnya padamu?” Tanyaku terbata dan hampir-hampir tak bersuara.

”Apa salahnya padaku? Oh ya, sebuah pertanyaan yang bagus. Dia, lelaki bermata belut yang menarik perhatianmu itu adalah lelaki yang tak punya hati. Dia pergi meninggalkan lima orang anak kecil dan seorang perempuan pesakitan. Ia pergi dan tak mau kembali. Ia telantarkan anak istrinya dalam kemelaratan dan kehinaan yang luar biasa. Dan aku, aku adalah salah satu dari kelima anak yang menderita itu.” Coan berkata panjang lebar.

Aku terperangah, tak tahu harus bagaimana. Sakit hati lalu balas dendam. Apakah cukup alasannya membunuh. Coan meneruskan tanpa kuduga.

”Dia jugalah yang memperkosa calon istriku. Waktu itu Yan sangat antusias mengikuti aliran keyakinan agamanya. Dia dianjurkan berdiam diri di suatu tempat untuk mencapai tingkat kesempurnaan jiwa. Dan Yan yang lugu itu mengikuti saja semua yang mereka perintahkan. Termasuk diantaranya menyerahkan dirinya untuk disucikan. Yan patuh karena dia yakini itulah aturan dan kebenaran. Lalu peristiwa itu pun terjadi. Atas nama keyakinannya, Yan diharuskan menyerahkan tubuhnya. Dan lelaki bermata belut itulah yang mengambilnya. Mulanya Yan tak mau, namun ia dipaksa penuh ancaman dan bujuk rayu. Kini Yan entah ke mana. Ia raib ditelan bumi, sementara lelaki itu semakin membuatku ingin menerkamnya saja.”

”Tapi kau tak berhak mengakhiri hidup orang lain!” Suaraku penuh marah.

”Kau sangat aneh!” Coan membantah sengit.

”Tidakkah kau dengar, lebih dari lima belas gadis telah menyerahkan keperawanannya atas nama kepercayaan mereka itu.”

Aku terkesima dan hampir-hampir tak percaya. ”Hampir semua kita melakukan persetubuhan atas dasar keyakinan.” Kataku sejurus kemudian.

”Ah aku tak mau membahas yang itu.” Coan berkelit.

“Lagi pula merekalah yang bodoh mengapa mau diperlakukan begitu.”

”Hahaha....Alangkah anehnya jalan pikiranmu.” Tawanya bernada ejekan.

”Mereka melakukannya bukan karena suka sama suka tapi karena paksaaan. Dan aku memang benar-benar tidak bisa menerima perbuatan lelaki itu yang telah menyakiti perempuan yang bukan cuma ibuku, namun juga calon istriku.”

Selesai membentakku, dengan penuh amarah dan kebencian lelaki yang lama kunantikan ini pergi sambil menghempaskan daun pintu.

Sei Batanghari, Juli 2007.

No comments: