“Bantariku sayang,” sapamu dengan lembut.
“Ya, Jauhari cintaku.”
“Bukankah sudah saatnya aku harus meminang?”
“Ya, tentu.”
“Lantas apakah lagi yang menghalangi niatku ini ?”
Aku diam sekejab. Kuremas-remas telapak tanganmu penuh bahagia.
“Kita ke rumah bibiku lebih dulu, ya. Dia tinggal di kota ini. Dialah yang merawatku sejak kecil setelah kepergian ibu.”
“Oh ya, mengapa baru sekarang kau bercerita tentangnya.” Tanyamu dengan wajah yang memancar cahaya.
“Baiklah, kita akan menuju ke sana esok hari. Semua pekerjaan kantor harus kita selesaikan secepatnya, biar aman. Okay, sayang.” Aku mengangguk tanda seia.
Maka kami pun berpisah senja itu dalam gemerlap lampu-lampu kota. Kami saling melambai dan berpisah pada jalur yang saling berbeda. Hatiku lega, hatinya juga.
Esok hari kami menemui bibi.
“Bi, Jauhari ingin melamarku.” Aku membuka pembicaraan. Bibi tersenyum manis mendengar pengakuanku.
“Saya senang mendengarnya. Namun kalian harus pergi ke Medan lebih dulu, menemui ayahmu, Bantari ?” Saran bibi.
“Lho, memangnya ayah masih hidup, Bi ?” Jauhari bertanya heran.
“Apa rupanya yang diceritakan Bantari tentang ayahnya ?” balik bibi bertanya. Jauhari segera mengalihkan pandangannya kepadaku. Matanya penuh selidik. Kucoba sedikit menenangkan perasaan. Sebenarnya tak ingin kubuka pada siapapun termasuk pada Jauhari tentang keluarga. Selama dua tahun, kami hanya bercerita tentang pekerjaan dan diri kami sendiri. Tapi kini bagaimana mungkin kuhindari pertanyaan memalukan itu. Jauhari sendiri juga tak pernah mau mengungkap tentang keluarganya kecuali kakak-kakaknya saja. Hidup di kota megapolitan yang serba modern ini, hal-hal privasi kurang etis dipertanyakan, walaupun dia teman dekat sekalipun. Dan kini, semua itu harus diungkap, seperti apapun dia adanya.
“Kau belum bercerita tentang ayahmu Bantari ?” Bibi bertanya lagi. Aku mengangkat bahu. Secara bergantian, ditatapnya kami satu persatu.
“Dan kau pun belum pernah tahu tentang ayah Jauhari ?” ulangnya. Aku mengangguk. Tanpa disangka-sangka bibi tertawa terbahak-bahak.
“Walah-walah,” ujarnya, “kalian ini pacarannya seperti apa sih. Masak sudah dua tahun tidak pernah bicara tentang keluarga. Aneh. Memang aneh anak muda zaman sekarang. Jadi apa yang kalian bahas kalau bertemu ?” Bibi bertanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Pekerjaan.” Kami menjawab hampir serempak. Bibi mengangguk-angguk. Aku melihat mata Jauhari dia pun berbuat hal yang sama.
“Maafkan aku Jauhari, bukan maksudku membohongimu, tapi…” “Tapi apa, Bantari ?” tanyanya penasaran.
“Aku malu dengan ayahku sendiri.” Aku mengaku. Dia terdiam. Begitu juga bibi
“Bibi akan ke Medan dengan kami, kan ?” cepat-cepat kualihkan pertanyaan.
“Ya, tentu. Walaupun aku benci sekali pada ayahmu dan berjanji tidak ingin bertemu dengannya, tapi demi kau, aku mau ke sana. Apalagi kami sekarang sudah sama-sama tua.” Mata Bibi mencoba membuka kenangan tentang ayah dalam pikirannya.
Kulihat ayah lima belas tahun lalu, saat usiaku masih enam tahun. Tubuhnya tinggi tidak seperti orang kebanyakan. Kulitnya putih seperti orang Eropa. Di jari jemarinya penuh dengan cincin dari batu yang berasal dari berbagai aliran sungai di Indonesia. Tapi anehnya, tali pinggangnya cuma satu yang penuh dengan sisik ular. Aku lihat ayah begitu bangga dengan apa yang melekat di tubuhnya.
“Bantari bilang, orang tuamu ada di Medan, juga ya ?” Bibi bertanya sambil memasukkan buah ke mulutnya.
“Ya, Bi. Ayah masih di Medan. Tapi saya sendiri dari kecil sudah hijrah ke Jakarta bersama ibu dan tiga orang kakak.”
“Ibumu masih hidup ?”
“Tidak. Beliau sudah lama meninggal. Untungnya saat itu kakak-kakakku sudah besar. Saya sendiri hidup dari kerja keras ke tiga kakak saya, Bi.”
Bibi menyimak dengan hikmat. Aku sendiri asyik menikmati es buah.
“Bibi sudah lama di kota ini ?” Jauhari membersihkan mulutnya dengan tisyu.
“Wah, ya sudah lama sekali. Mungkin seusiamu. Kalau boleh Bibi tahu, apa kerja ayahmu ?”
“Saya kurang tahu persis, Bi. Karena ibu tak pernah bercerita banyak tentang ayah. Hanya saja kakak pernah bilang kadang-kadang ayah jual beli emas dan tanah. Tapi saya sendiri tidak pernah membuktikannya. Saya hanya lihat ayah dari foto. Sejak ibu pergi ke Jakarta hingga usia saya sekarang 23 tahun ini, saya belum pernah menjenguk ayah. Hanya Kak Merry sajalah yang pernah mengunjungi ayah.”
“Waduh aneh sekali kamu ini, Jauhari. Masak sih ayah sendiri tak pernah dilihat.” Suara Bibi seakan menyesali sikap Jauhari yang tak perduli pada ayahnya.
“Saya tidak dekat dengan ayah.” “Mengapa begitu ?” desak Bibi.
Jauhari tak segera menjawab, dia mengalihkan pandangannya ke jendela, melihat bola besar yang berwarna merah itu tinggal sepenggal. Cahayanya yang jingga masuk ke rumah melalui ventilasi. Sebentar lagi malam akan tiba.
“Maafkan Bibi, Nak. Bukan maksud untuk menyinggungmu. Tentu segala sesuatunya harus diketahui karena kalian hendak menikah. Saya ini sudah tua. Cuma Bantari milik saya satu-satunya. Saya tak punya siapapun selain dia. Tentulah saya, sebagai orang tuanya perlu tahu tentang keluarga calon suaminya. Sebenarnya kalian ini masih sangat muda untuk melangsungkan pernikahan. Tapi sudahlah, daripada ditahan-tahan, efeknya juga tidak bagus. Apalagi di Jakarta ini semuanya serba boleh. Ah, sudahlah….” Suara Bibi kurang enak untuk kudengar.
“Ya, sudahlah kalau begitu. Ngomong-ngomong berapa usia ayahmu ?” Kembali Bibi mengajukan pertanyaan pada Jauhari.
“Saya tidak tahu pasti, Bi. Kemungkinan besar ya sudah tua. Kira-kira berumur tujuh puluh tahunan.”
“Di Medan bagian mana beliau tinggal ?”
“Kata Kak Merry, ayah tinggal masih di rumah yang lama. Di kawasan Serdang. Mungkin di Medan bagian timur.”
“Oh !” Bibi terpekik. “Ada apa, Bi ?” Aku segera bertanya keheranan.
“Tidak apa-apa. Mari kita teruskan. Siapa nama ayah dan ibumu ?”
“Kalau ibu bernama Nursiah dan kalau bapak lebih dikenal dengan Dullah Inggris. Karena kulitnya putih dan badannya tinggi seperti orang Inggris, makanya dia dipanggil dengan sebutan itu. Nama asli ayah, saya kurang jelas, apakah Abdullah saja atau… ”
“Oh tidak…!” Bibi memekik dengan kuat.
“Ada apa, Bi ?” Jauhari ketakutan. Sementara tubuhku sendiri terasa lemah. Aku tak sanggup berkata apapun. Mataku melihat cahaya warna-warni di mana-mana. Aku tak sanggup mendengar. Tubuhku terasa panas terbakar.
* * *
Lelaki itu duduk di kursi goyang. Kulitnya yang putih, tubuhnya yang tinggi, matanya yang biru, masih kulihat sama seperti dulu. Walau rambut telah putih semua, namun matanya seakan kuat mengharap pada sisa-sisa umur untuk tetap menikmati hidup. Inilah ayahku, kata bibi. Dan aku pun menyapanya dengan rasa yang haru biru. Tak tahu harus kusebut apa dia, tapi rasa itu ada semua dalam hatiku.
“Dullah, inilah anak perempuanmu dari kakakku Selasih.” Suara Bibi datar.
Ayah melihatku dengan seksama. Menelitiku satu demi satu dari ujung rambut hingga mata kaki. Dia tersenyum. Namun perasaanku dipenuhi dengan rasa jijik.
“Bicaralah, Nak. Bicaralah sepuas hatimu. Katakan pada ayahmu ini, apa yang telah dia lakukan sepanjang hidupnya yang membuatmu kini menanggung bebannya. Katakanlah, Bantari. Jangan ragu-ragu. Sadarkanlah lelaki ini atas kelakuakannya yang seperti kera itu !” Bibi bicara dengan mata marah menghujam ke mata ayahku.
Muka ayah memerah. Dia memandang sinis dan hina pada bibi. Dadaku naik turun dengan cepat. Aku takut kalau-kalau terjadi sesuatu yang tak kuinginkan. Tapi aku sendiri hanya sanggup diam. Mulutku belum juga mau bicara. Aku sendiri masih diliputi rasa ingin tahu dan rindu pada sosok ayah. Walaupun ia tak pernah hadir menemani masa kecilku, tapi aku tak dapat menyimpan keinginan untuk kembali melihat bahkan menyentuhnya.
“Bicaralah segera Bantari, waktu kita tidak lama di rumah ini. Jangan ulur waktu hanya untuk lelaki buaya ini !”
“Sundari, tutup mulutmu ! Tidak ada hakmu memaki-maki di rumahku !” Suara lelaki itu menggelegar penuh amarah. Bibi tetap memandang mata ayah. Kulihat benar betapa ia sangat membenci lelaki yang ada di depannya. Aku tidak tahu mengapa sampai demikian besar marahnya pada ayah.
“Tentu ada hakku. Mengapa pula tidak, Dullah. Selama ini kututupi siapa kau sebenarnya. Gara-gara ulahmu yang suka kawin mawin macam keralah yang membuatnya sekarang sengsara. Tahukah kau bahwa anak lelaki Nursiah, istrimu yang kelima puluh itulah yang menjadi calon suaminya ! Kau tahu apa akibat dari tindakanmu ini, Dullah. Apa ! Kau menyiksa puluhan wanita yang kagum dengan fisik dan hartamu. Kau rebut kekagumannya dengan mengawini mereka satu persatu. Setelah kau kawini, setahun kemudian pastilah mereka kau ceraikan. Jika mereka tak mau diceraikan maka kau akan meninggalkannya begitu saja. Kau bisa membuat itu semua karena kau punya uang dan menyuap mulut semua orang yang punya kuasa. Apakah kau tahu bagaimana perasaan anakmu ini ? Kau tahu, Dullah !” Bibi berkata lantang dengan mata yang juga penuh amarah.
“Apa tak ada laki-laki lain di dunia ini yang bisa dikawini kecuali abangmu sendiri, Bantari ?” Jawab ayah tiba-tiba ke arahku.
Aku tergagap dan tak tahu harus berkata apa.
* * *
Sungguh hatiku, tubuhku, ingatanku senantiasa rindu. Rindu ingin bertemu. Bertatap mata dengan mesra, mengulum senyum yang manis-manis saja, membelai tangan yang sama-sama halus ke empatnya dan bercerita tentang pengalaman kerja di kantor kita masing-masing. Namun semua itu terlarang kita lakukan. Semua itu harus kita buang. Biarlah ia hanya milik kenangan.
Sampali, 7 Syawal 1425 H.
1 comment:
Aku pengen kau juga bisa bercirita tentang aku di matamu, ditelingamu, dikepalamu dan didadamu. Terakhir di bokongmu, hehehehe
Post a Comment