DIA

Ia duduk menelungkup di depanku. Jaraknya hanya sehasta. Berselendang biru tua, berjeans biru tua, berkerabu dari batu akik warna biru tua dan bersepatu, biru tua. Hanya satu yang tak biru tua, kemeja setengah lengan berwarna hitam.

Pagi-pagi ia menemuiku.

“Sal, Sal, buka pintu…” Bisiknya dengan kuat dari jendela kamar.

Aku terusik, sungguh. Dia mengganggu jam tidurku. Dia ingin merampas kebiasaanku. Padahal dia tahu, aku tak suka bangun pagi. Tidurku dalam sehari hanya 10 jam. Malam, kuakhiri pada jam dua belas. Tubuhku akan bangkit jika panah waktu menunjuk angka sepuluh.

“Sal, ayolah. Nanti keburu siang !” Ia berusaha membangkitkan tubuhku.

Aku yakin benar masih pukul enam tiga puluh. Bukankah baru setengah tujuh ? Aku tahu, Lexy menyambut dingin pagi bersama Januari Christy : esok pagi, akan tiba, kesukaan, yang ceria…, tanpa bosan. Aku juga tahu kebiasaan Ruli yang meloncat-loncat lima belas menit untuk mengatur detak jantungnya yang divonis dokter, koroner. Aku tahu aktifitas penghuni rumah yang hanya tiga orang ini. Hanya aku yang tak mau bangun pagi.

“Sal…tolonglah, ini gawat. Dia akan datang membunuhku !” Masih dengan nada berbisik ia ganggu tidurku. Aku terkejut, membunuhnya ? Kubiarkan lima menit ia menunggu. Dengan berat hati, kuhampiri pintu. Kubukakan untuknya.

“Kubuatkan kau teh ya ?” Ia mencoba merayu. Aku mengangguk.

“Tapi syaratnya ada, kau harus ke kamar mandi. Cuci muka, kencing atau berak. Terserah yang mana.” Tidak kujawab, aku terus saja pergi.

Di kamar mandi, aku berlama-lama. Mataku sulit dibuka. Lama sekali aku jongkok, sebab air seni tersendat-sendat keluarnya.

Di atas meja, kudapati secangkir teh. Aroma, warnanya, sungguh menyegarkan. Aku meneguknya, perlahan-lahan mata sempurna terbuka, terang benderang.

Aku menatapnya dalam-dalam. Dia melempar sebungkus rokok yang telah dibuka. Aku mengambil sebatang. Dia menghidupkan api dengan pemantik, rokok pun terbakar. Asap mengepul seketika memenuhi ruangan. Udara tak lagi segar. Otakku kembali mengeluh.

Lagi, kutatap dia dalam-dalam. Matanya bertemu dengan mataku. Aku melihat : ada yang baru. Setengah batang rokok telah dibakar. Suaranya belum juga terdengar. Aku mendehem, tapi ia tak juga bicara.

Lima menit berlalu. Kudekatkan tubuhku tepat di depannya. Jaraknya hanya sehasta. Warna tubuhnya dibalut serba biru tua. Hanya satu yang tak biru tua, kemeja lengan pendek berwarna hitam.

“Sal, tadi malam Bernetta datang ke rumah.”

“Hem…” Aku menyahut seksama.

“Dia tiba-tiba datang dan menjambak rambutku, memeras payudaraku, menendang perutku dan memaki-maki aku di depan adik-adikku. Aku berteriak-teriak kesakitan. Tapi orang-orang sekampung yang mengerubungi kami hanya menonton, bersorak dan tak mau melerainya.”

“Kau tak berusaha melawannya ?”

“Ya, tapi dia terlalu kuat.”

“Siapa dia ?”

“Istrinya.” Aku terkejut tapi memilih diam.

Perlahan kuhembuskan asap ke mukanya. Dia tampak begitu lemah. Rambutnya lusuh, mukanya pucat, matanya lelah. Tapi dia datang serba biru tua, serba wah. Aku tak tahu, dia tak pernah begini sebelumnya. Dia hanya gadis sederhana.

“Dia datang bersama dua orang. Satu laki-laki, sepertinya polisi, dan satunya wanita, lebih muda darinya. Wanita itu sangat benci melihatku. Dia pun meludahiku.”

“Kedua adikmu, bagaimana ?”

“Mereka diam saja, tak tahu berbuat apa. Kayaknya shock. Aku benar-benar malu.”

Dia adalah teman. Akan datang setiap minggu. Tapi kadang mau setiap hari dalam seminggu. Dia adalah saudara. Setiap hari berkisah tentang rasa pilu. Kadang perkosaan, kadang penghianatan, kadang percintaan, kadang kecemasan, kadang dendam dan kadang keceriaan. Dia adalah ibu. Setiap hari bercerita tentang penderitaan. Tentang rasa lapar, tentang tak beruang, tentang sanak kadang, tentang perselingkuhan. Dia adalah dia, yang datang semaunya. Yang datang saat senja, yang datang saat kelam, yang datang saat hujan menggelegar bahkan saat kemarau mengelupasi kulitnya.

Sejak usia belasan tahun, dia telah kehilangan selaput dara. Robek ditusuk phalus kekasihnya. Karena cinta ? Tidak, karena dipaksa. Sehari kemudian, lelaki itu raib entah ke mana. Ia pun raib serta menuju neraka.

Dalam kobaran neraka. Ia bertemu lautan duka. Setiap malam menjamu para tetamu. Setiap hari mengulum beruntai senyum.

Di usia kepala dua, ia telah mendesah dengan tiga puluh phalus. Awalnya, hanya butuh cinta. Namun, semua lepas begitu saja. Kadang hanya enam bulan, kadang dua bulan, kadang setahun, kadang dua tahun, kadang seminggu bahkan pernah hanya dua puluh empat jam. Semuanya lepas begitu saja.

Pada kepala tiga. Dia ingin mengakhiri segalanya. Ia menemukan seseorang yang ingin dimilikinya. Seorang lelaki, seorang pemilik phallus juga. Orang memanggilnya, Zulkifli. Bertubuh tegap. Bermata elang. Berotot kuat. Berphallus tahan lama. Dia pun menjadi istrinya. Menjadi simpanan, katanya.

“Apa bedanya Zul dengan yang lain ?” Tanyaku saat ia sedang bahagia.

“Tak ada. Hanya sedikit lebih aman. Tak lagi berpetualang. Hanya punya satu beban : jangan sampai ketahuan !”

“Semoga kau aman.” Berat hati akhirnya kukatakan.

“Ya, semoga.” Mantap ia berkeyakinan.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Genap sudah jalinan diam-diam itu setahun lamanya. Ia diliputi bahagia. Aku senang melihatnya.

Tapi pagi ini dia datang menemuiku. Mengusik tidurku, mengganggu mimpiku, menghalau kebiasaan tidur pagiku. Telah kukatakan padanya : jangan datang di waktu pagi, aku tak kan sudi diganggu. Waktu lain sepenuhnya untukmu. Sudah kukatakan padanya semua itu. Tapi dia tak paham, tak pintar.

Rokok masih dibibirku. Asapnya membumbung ke langit kamar. Baunya menyesakkan dada. Rokok kuhirup, terus kuhirup. Aku ingin menghirupnya seperti saat aku ingin mengeluarkannya. Namun mataku tetap lekat pada matanya.

“Apa yang paling kau ingat dari Bernetta itu ?”

“Oh…mengerikan sekali ! Dia menyumpahiku atas nama segala binatang, atas nama segala penghinaan. Aku tak ingat, tak mau mengingatnya. Aku takut karena dia ingin membunuhku. Dan Zul, pasti marah besar dan akan membunuhku juga.” Ia menelungkup penuh isak tangis.

“Mengapa begitu ?” Aku penasaran.

“Dia pernah bilang, jika hubunganku sempat diketahui oleh istrinya, ia akan membunuhku.”

“Apa alasannya ?”

“Karena keluarga istrinya telah banyak menyelamatkan keluarganya dari kemelaratan, penghinaan dan aib.”

“Lalu apa yang seringkali diucapkannya mengenai istrinya ?”

“Selalu dia katakan kalau istrinya yang bernama Bernetta itu sangat baik, sangat penyayang, sangat cantik, sangat seksi, sangat mulus tanpa cacat setitik pun.”

“Apakah memang cantik ?”

“Tidak !” Cepat sekali dijawabnya.

“Baru aku tahu kalau ternyata dia tidak cantik. Dia gendut, pesek, kribo, hitam dan pipi jerawatan !” Sambungnya penuh marah.

“Apakah dia baik ?” Tanyaku lagi.

“Tentu tidak, karena dia telah mempermalukanku di depan adik-adikku. Kini aku tahu kalau Zulkifli itu pembohong.”

Batinku mendadak panas. Syair-syair January Christi terus melantun sendiri.

“Apakah kau cemburu ?”

“Aku tidak berhak cemburu.”

“Kenapa ?”

“Karena Zulkifli suaminya.”

“Lantas kenapa dulu kau mau menikahinya ?”

“Aku butuh uang dan lelaki.”

Aku diam. Dia pun diam. Kami saling diam. Lama sekali.

“Lantas apa maumu, sekarang ?”

Dia masih diam, kepalanya tunduk menekur lantai.

“Setiap kali kau bercerita tentang lelaki, setiap kali pula kukatakan : berhentilah dari siksa masa lalu. Apakah hidupmu harus senantiasa bertemu phallus lelaki ? Selalu pula kau jawab : ya, karena phalus telah membuatku menderita. Kau takut dibunuh Zul dan istrinya karena kau takut kehilangan uang dan phalus.” Aku mencoba berdiri, berjalan mencari ruang kosong dalam kamar.

“Kau bawa dendam masa lalu hanya karena robek selaput daramu. Jangan pernah katakan itu, kalau kau hanya butuh phallus.” Aku meraih gelas dan meminum isinya. Kulihat dia masih diam mengelus-elus lantai.

“Lalu apa yang harus kulakukan ?” Pintanya mendadak. Kulihat mukanya penuh rasa jijik. Aku diam tak segera menjawab. Kuteguk sisa teh buatannya.

“Seperti yang dulu, kau jalani setiap apa kataku. Namun, jika kau dapati masalah, pasti kau persalahkanku. Kini kaulah yang mengambil jalan hidupmu sendiri. Bukan aku, bukan Zulkifli, lelaki yang menyimpanmu itu. Kaulah sendiri !”

Panah jam di angka delapan. Aku sangat ingin tidur kembali. Oh, aku begitu letih dengan hidupnya. Aku begitu resah dengan namanya. Nama yang selalu kudengar buruk, nama yang selalu membuatku terhina. Nama, ya nama itu si penjaja cepet.

Aku semakin resah.

“Lalu apa yang harus kulakukan ?” Dia bertanya lagi.

Jengkel sekali ku dibuatnya. Bukankah telah kukatakan, dialah yang harus memilih jalan hidupnya sendiri. Bukankah telah kuucapkan kalau dia harus tegas terhadap dirinya sendiri. Bukankah telah kunyatakan kalau dia harus bangkit dari masa lalunya. Bukankah dia bisa lari menjauh dari para lelaki, dari kejaran Zul dan Bernetta ? Atau apa saja. ”

“Apa yang harus kulakukan ?” Ia mendesak jawaban.

“Aku tidak tahu !” Kataku kasar kemudian.

“Benar kau tidak tahu ?”

“Ya. Aku menyerah. Aku memang tidak tahu, tidak tahu !”

Kulihat ia bangkit dari duduk. Bergegas membenahi selendang biru tua yang membalut pundaknya. Sejenak ia menatapku. Aku melihat sinarnya yang redup. Aku diam terkesima. Sedetik kemudian ia permisi pamit. Pintu kubuka untuknya. Terhirup olehku aroma parfumnya.

Aku kembali merajut keping-keping mimpi. Pukul 12.00 aku bangun. Panas membuatku gerah, sebab matahari tepat di atap rumah. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Sebuah pesan kubuka. Ternyata darinya.

Kak, Mbak Ning gantung diri ! dari Tuti, adiknya.

Aku diam, tak tahu harus bagaimana.

Sampali, April 24, 2004.

No comments: