Pada Sebuah Penerbangan

Lebih cepat lebih baik, akhirnya kukirim kalimat singkat melalui short message system ke nomor Reina. Satu menit kemudian terdengar bunyi tet. Kubuka dan cepat kubaca. Oke Ibu yang selewet, ia menirukan bahasa Hiya, anak lelaki pertamanya berusia dua tahun setengah.

Akhirnya ia telah memilih penerbangan pukul enam sore. Tak apalah, sesekali perlu juga naik yang lain. Jangan terlalu fanatik dengan satu atau dua maskapai. Ia mengirimkan balasan lagi menanggapi keberatanku pada maskapai penerbangan yang banyak sekali memakan korban jiwa, sekaligus memastikan keberangkatan kami besok menuju ke barat.

Sebenarnya pergi ke arah barat ibarat menjemput maut. Orang-orang yang mati dengan cara yang mengerikan melintas dikepalaku. Aku pernah melihat filmnya. Aku juga pernah membaca beberapa dokumentasi yang tak akan mungkin kulupakan. Tiba-tiba saja perutku mual dan serasa hal-hal yang menyenangkan tentang hidup ini seolah lenyap. Sesak dadaku mendengar keluhan banyak orang yang mengatakan bahwa hak-hak manusiawinya kian dikikis.

Berdua-duaan dengan lelaki atau perempuan yang bukan satu darah dilarang. Mereka mengatakannya mendekati perbuatan zina. Jika kartu tanda pengenal ditulis Islam, peraturan pakaian pun dikenakan. Pakaian harus menutupi aurat. Wajib memakai tutup kepala. Bagaimana kalau bersatu tubuh tanpa selembar surat? Sekawanan fanatik akan mencecar pertanyaan, nasihat juga hukuman. Si manusia ini akan diarak. Mereka dipertontonkan kepada orang ramai, tentu saja diliput media massa. Biasanya dihukum cambuk. Menurut literatur yang pernah kubaca, pada suatu zaman di sebuah negeri yang menganut aturan seperti itu mengkisahkan kalau si manusia yang disebut berzina itu kemudian dilempari dengan batu beberapa ratus kali. Kematiannya adalah jalan penebusan dosa.

Oh Mak, mampuslah aku kalau masih terjadi. Yang jelas, walau katepeku dituliskan beragama Islam, aku tidak akan mau memakai kerudung, apalagi jilbab. Jangan tanya alasannya apa. Berbusa mulutku menjelaskan, dijamin kuping mereka tak mau mendengarnya. Matanya pun kuyakini telah buta. Semua hal ditutup demi sebuah nama. Singkatnya beginilah, yang penting aku tidak mau. Pemaksaan adalah pelanggaran terhadap HAM. Itu yang kutahu. Titik.

”Sudahlah, masam kau tak tahu saja. Kalau ada perkara nanti, biar aku yang selesaikan.” Reina mencoba menenangkanku saat kami memasuki bandara Polonia.

”Maksudmu, kalau aku nanti ditanyai macam-macam kau mau melayaninya?”

”Iyalah, Mak Cik. Aku akan bilang kalau kau orang Kristen. Kan beres.”

”Dulu temanku yang datang dari Bali kebetulan beragama Hindu tetap dipaksa menutup kepalanya. Biar kau tahu, mereka merobek kain sarung dan memaksanya jadi kerudung.” Aku mengajukan bukti yang kusaksikan sendiri waktu itu.

”Iya pulak ya, tapi itu tahun berapa, Coy?” Balik ia bertanya dengan sebutan-sebutan akrab khas Medan. Panggilan coy, makcik, uwak atau apa saja yang cocok kami rasa, akan kami sebutkan untuk tidak menyebut namanya.

”Tahun 1999 kalau tak salah.” Aku menjawab dan memijit kepala seolah terasa sakit. Ia hanya tersenyum, tapi aku tak tahu mengartikannya apa.

Reina tidak bermasalah karena ia memang memakai jilbab. Ia teman baikku selama sepuluh tahun ini. Sebenarnya ia bisa saja pergi lebih dulu ke arah barat, namun ia menunda dua hari hanya untuk pergi berdua denganku. Aku tahu maksudnya, setidaknya ketika kami di pesawat dia bebas bercerita apa saja. Segalanya terasa lepas, begitulah kalimat yang pernah kudengar dari mulutnya.

Padahal aku selalu marah-marah kalau berjumpa Reina. Pastilah kuungkit masalah keluarganya yang tak pernah selesai. Misalnya soal suami dan mertuanya yang menurutku sungguh keterlaluan. Karena takut dibilang menantu atau istri durhaka, tubuh Reina dari waktu ke waktu terus menyusut. Wajahnya semakin tirus. Ia terlihat tidak lagi menarik seperti dulu. Selain kerempeng, ia pucat dan sakit-sakitan. Cobalah lihat buah dadanya sangat lepes. Padahal ia tengah menyusui anak ketiga. Reina terus menahan diri untuk tidak mengungkapkan secara terbuka kepada keluarga suaminya. Tapi jelas menurutku sikap seperti ini tidak menyelesaikan masalah. Bukankah segalanya bisa dicoba, berhasil atau tidak bukan masalah.

Yang kedua karena diusianya yang sama denganku, tiga puluh satu tahun, sudah beranak tiga, sementara aku, satu pun belum walau pernikahan kami telah menuju angka lima. Reina harus bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya. Pencari nafkah utama dan yang paling diutamakan. Sedang suaminya untuk sementara ini, masih mocok-mocok terus. Kastro memang rajin mencari uang dengan berbagai macam usaha, namun hasilnya belum mampu mencukupi kebutuhan rata-rata dua orang dewasa. Selain menanggung tiga anak, Reina juga membiayai makan dan segala kebutuhan primer si Bunda, ia memanggil mertuanya begitu. Ditambah adik mertuanya yang melajang hingga usia lima puluh tahun. Oh ya ada satu lagi, adik Kastro, Marzhan namanya. Semua orang-orang yang kukatakan ini tinggal seatap. Bisakan dibayangkan penindasan macam apa yang dirasakannya. Tapi boleh jadi ia tak peduli. Reina tetap Reina. Aku kehilangan semangat, sebab mulutnya masih tetap tak mau bersuara.

Malangnya kami tak satu deret tempat duduk. Seseorang keburu mendahului saat antri menyerahkan tiket untuk diperiksa. Padahal Reina sangat ingin bercerita sambil menikmati penerbangan singkat bersamaku. Soalnya perjalanan seperti ini sangat langka terjadi di antara kami. Biasalah persoalannya klasik, sibuk kerja. Aku yakin dia sedih sekali. Tapi apa boleh buat, perempuan kulit putih dengan matanya yang biru itu tidak mau ganti tempat duduk dengannya walau Reina sudah memohon dengan sebuah alasan yang masuk akal sekalipun.

”Ya sudah lain kalilah, Wak. Belum waktunya,” bujukku agar ia tak terlalu kecewa. Kulihat mulutnya mengkerut runcing. Ia tampak semakin tua di mataku.

Aku mencari-cari tempat duduk berkode F9. Itu dia, bisikku dalam hati setelah melihat huruf F besar dua langkah dari jarakku berdiri berhimpit-himpit dengan penumpang lain yang semuanya ingin cepat-cepat duduk.

Uff ! Ternyata ada juga hikmahnya berpisah duduk dengan Reina. Sepanjang sejarah menaiki burung terbang dengan kemampuannya menembus gerombolan awan yang mengapung di langit luas, belum pernah sekalipun aku bernasib sebaik senja kali ini.

Manusia muda, cukup manis. Sejak dia tahu aku akan menjadi pendampingnya selama empat puluh lima menit ke depan, telah melempar senyum terbaiknya untukku. Dengan tangkas ia mencoba membantu memasukkan kotak kardus berisi buah tangan untuk sanak saudaraku. Seharusnya kotak ini kuletakkan di lemari, namun semua ruang sudah terisi penuh dengan barang-barang. Agak susah memang memasukkan kardus itu ke dalam, tapi cekatan sekali ia melakukannya. Tentu tak lupa kuucapkan terima kasih.

”Mau ke mana, Mbak?” Ia bertanya sangat ramah. Suaranya enak sekali didengar. Renyah seperti kentang goreng. Aku mencoba melihat dua detik matanya yang menyorotkan tanda persahabatan.

”Hmm... yang jelas sama denganmu, mana mungkin ke lain tempat.” Aku menjawab tegas. Dia tersenyum manis sekali. Saat itu juga aku teringat Reina yang duduk pada deretan kursi belakang. Aku berdiri, memutar badan sebisanya dan memanggil namanya. Kepalanya mendongak dengan mulutnya yang terbuka mengarah kepadaku.

”Enggak apa-apa, aku hanya memanggilmu saja.” Kataku dengan tekanan suara sedikit kuat. Beberapa orang bereaksi melihatku. Aku menebar senyum. Sebenarnya aku mau bilang pada Reina kalau aku beruntung sekali tidak duduk dengannya. Ide ini memang kurang ajar, bersenang-senang di atas kekecewaan orang lain. Namun maksudku bukan begitu, barangkali ketika aku katakan bahwa aku senang sekarang karena duduk bersama seseorang yang menyenangkan, aku berharap dia juga turut senang.

Ah, sudahlah. Aku mau berbicara lagi dengan manusia manis ini. ”Kamu sendiri mau kemana?” Aku memulai. Ia yang muda, mungkin usianya berada empat tahun di bawahku menatap hanya dengan jarak empat puluh senti meter. Dengan nada yang masih memukau ia menerangkan panjang lebar tentang masalah tanah di negeri yang paling parah terkena dampak tsunami. Menurutnya karena pergeseran geografis sejak tahun 2004 dan beruntun hingga sekarang, masalah tanah menjadi sesuatu yang rawan dan mesti didata ulang. Tandra sudah tiga tahun bergeliat dengan kasus itu. ”Memang lumayan capek, namanya juga kerja pasti ada resikonya.” Katanya seolah bercakap dengan dirinya sendiri.

Dari jendela pesawat kulihat kilatan cahaya putih membelah langit. Tiba-tiba hatiku begitu ciut. Aku ingin membatalkan pertemuan dengan seorang klien. Aku ingin surut. Aku takut.

Semenit kemudian, sebuah pengumuman mengatakan pesawat ditunda lima belas menit karena persoalan teknis, namun penumpang diharap tenang dan tidak perlu kembali ke ruang tunggu. Kudengar orang-orang mengeluh.

Aku mencoba rileks dan mengalihkan perhatian pada manusia di sampingku. Ia tampak begitu tenang. Tanpa kusadari sejak dari tadi ia memperhatikanku.

Langit senja yang kini tak jelas warnanya kembali dihela riuh suara petir. Sejak proses global warming semakin parah, cuaca tak bisa lagi ditebak. Padahal tadi biasa-biasa saja. Semuanya berubah serba mendadak dan tak pasti.

”Tak usah takut,” Tandra berucap dekat kuping seolah mengetahui suasana hatiku. Aku menoleh ke arahnya. Beberapa detik kami diam terpana. Rasanya hampir tak berjarak. Maksudku tidak cuma tangan, wajah kami pun bersentuhan. Panas sekali rasanya, aku hampir terbakar. Tak pernah sengatan listrik sejenis ini terjadi sebelumnya. Adrenalin di tubuhku mengalir deras. Ia meletupkan percik api.

Entahlah mungkin aktifitasku selama ini seperti mekanik. Tanpa jiwa. Sepertinya aku membutuhkan relaksasi semacam kejadian tadi yang memacu hormon itu hidup kembali. Memang subjektif sekali tampaknya. Tapi biarlah.

Perbincangan kami semakin menarik, semakin menjurus pada hal-hal yang menyenangkan. Aku lupa pada Reina yang sedang sedih dan manusia lain yang tadi kutinggalkan kira-kira satu setengah jam lalu di rumah.

Garuda membumbung di ketinggian empat belas ribu kaki. Guncangan-guncangan hebat dan kilat yang menyambar-nyambar tidak lagi cukup menakutkanku. Sejujurnya tidak ada yang lebih menarik selain melihat, merasakan dan menikmati debaran jantung yang mendetak cepat. Semua datang secepat kilat meretak wajah langit. Aku baru tahu ada sengatan listrik serupa ini.

Dalam hati aku berjanji berbagi cerita pada Rei. Akan kukatakan, andaipun Garuda tua ini terbelah dua bahkan berhamburan di udara, aku berterima kasih padamu karena penerbangan kali ini. Kau tahu Mak Cik Reina, pasti akan kutambahkan kalimat ini, aku tidak hanya terbang bersama Garuda, namun manusia muda yang manis itu hampir membawaku mengitari matahari. Tapi Rei, aku ingin cepat pulang, jika tidak kau tidak akan mampu membendung arak-arakan manusia itu mencambuk atau melempari kami dengan batu.

Flamboyan, 20 April 2008.

No comments: