Jatuh


“Atur nafasmu, Nihyang. Kita belum boleh lelah.
Simpan dulu lelahmu. Ayo terus naik. Raih tanganku. Ayo…!”

Aku mengulurkan tangan kanan yang mulai terasa berat. Badik berusaha sekuat tenaga menariknya ke atas. Aku mengikuti tempat pijakannya. Hampir saja kakiku terpeleset. Kalau itu terjadi pastilah tubuhku remuk di tanah. Mungkin kaki atau kepalaku juga berpisah satu sama lain. Oh tidak ! Aku tak boleh membayangkan tubuhku berpisah. Aku harus selamat. Harus !

Tapi aku sangat letih, letih sekali. Kembali kuatur nafas. Namun mataku tak bisa beralih ke tempat lain. Di depanku hanya ada batu. Batu cadas berbalut lumut-lumut hijau. Kuberanikan memandang ke bawah. Tebing ini begitu curam. Darahku berdesir. Rasa takut seketika menghimpit. Keringat dingin menjalar ke seluruh tubuh yang tengah mandi keringat.

“Ayo Nihyang…! Jangan melamun, nanti kau bisa jatuh. Kuatkan hatimu. Kita sudah berada pada ketinggian 200 meter dari permukaan laut. Nihyang…lihat ke atas jangan ke bawah !” Badik bersuara keras mengingatkanku.

Aku terdiam lama. Mengapa tiba-tiba aku bersamanya ? Dimanakah aku. Bukankah dia kekasih temanku. Apa yang tengah kulakukan ini. Mengapa hanya ada aku dan dia. Mana Ratna ? Mana karibku…

Dua meter Badik di atasku. Dia hampir sampai ke tujuan. Sedikit lagi. Dan aku pun akan segera menyusulnya. Di tempat yang tinggi dan datar itu, kami akan membuat kemah kecil. Kemah tempat bernaung dari sergapan dingin dan panas matahari. Tanah datar seluas lima belas kali sepuluh meter itu sudah tiga kali dijenguk. Ini kali yang ke empat.

Tapi tanganku letih sekali rasanya. Tubuhku berat dan penat. Tiba-tiba aku ingin terbang saja dari tebing ini. Melayang dan meliuk-liukkan badan di udara, memandang bumi dari tempat yang tinggi. Bumi yang melahirkan kehidupan. Dan bumi yang melahap setiap kematian. Aku ingin terjun ke bawah, meluncur seperti anak panah menembus dada bumi.

Aku ingin minum. Kerongkonganku terasa kering. Aku segera meraba botol minuman. Tapi kakiku tak sedikitpun bisa digerakkan. Aku mencoba menggerakkannya barang sedikit saja untuk memudahkanku menyentuh botol minuman. Tapi tetap kaku. Rasanya aku tak bisa.

“Badik…!”

“Ya…” Kudengar gema suaranya dari dinding tebing. Suara Badik terdengar penuh kemenangan. Sepertinya ia telah sampai di tanah yang datar.

“Nihyang, aku sampai….!” Ia meluap senang.

“Kau pun akan segera sampai Nihyang. Kita akan berpesta di sini. Mengenang semua yang pernah terjadi di tempat ini.” Kata-katanya sangat bersemangat.

Aku mendongak mencoba melihatnya dari bawah. Dia berdiri tepat di bibir jurang menantikan pencapaianku.

“Badik…!” Aku berseru sekuatnya. Pantulan suaraku didengar oleh rimba, oleh angin, oleh jurang yang menganga di bawah. Aku mendengar suara-suaraku di kesenyapan yang luas ini.

“Ya…teruslah naik. Atur nafas. Kuatkan pegangan tanganmu. Aku akan menyambut. Sedikit lagi Nihyang, sedikit lagi. Ayolah sayang…” Suara-suaranya pun terus menggema, gaungnya berulang-ulang.

Kepalaku terasa pusing. Aku lemah sekali. Segera kusandarkan tubuhku ke dinding tebing. Kulemaskan seluruh tubuh. Aku memegang erat temali yang membelit ini. Kembali kuatur nafas. Aku harus bisa !

“Nihyang, ayolah sayang. Kenapa lama sekali….” Badik berteriak dari atas.

Lima meter lagi aku akan mencapai tanah kenangan itu. Tanah yang betul-betul penuh kemenangan. Di situ untuk yang pertama kali Badik menyatakan cinta padaku. Cinta dari seorang yang dinanti. Ya, aku nantikan ia berpisah dengan Ratna.

Tapi aku tak merebut Badik darinya. Dia yang melepaskannya. Walaupun kuyakin benar, Badik tak pernah bermimpi pisah dengan perempuan cantik itu. Sejujurnya kuakui Ratna sangat mencintainya. Percayalah, hanya Badik yang tolol ini yang sanggup melakukan perpisahan dengan wanita itu. Dan aku ? Ya aku pasti sangat bersyukur.

Ratna gadis manis berkulit mulus bak porselen. Perempuan idaman kehidupan. Cantik, pintar, berprestasi, ramah, suka menolong, mahir menari balet, pandai menulis puisi, pernah memenangkan lomba karya ilmiah tingkat nasional sebanyak tiga kali dan pernah menjadi duta Indonesia untuk pesta bunga di Pasadena. Ratna, siapa yang tak suka denganmu. Semua pasti suka. Dan aku pun sangat suka denganmu. Sosok perempuan perfect satu-satunya yang baru pertama kukenal di bumi.

“Nihyang…ayolah naik ! Jangan lama-lama…” Kudengar lagi suara Badik di lereng sunyi.

Aku mendenguskan nafas dengan keras, berharap bisa bergerak. Tapi nyata aku hanya bersandar di sisi tebing curam. Aku menahan sakit yang menyerang betis. Kakiku tak sanggup naik ke atas.

Besi kait ini pun sepertinya tak akan bisa lama bertahan. Aku harus bergerak naik. Merengsek dinding ini tahap demi tahap. Aku harus bisa mendaki. Aku harus bisa menikmati hidup. Ayolah mendaki ! Jangan letih dulu !

Aku tahu alasan Ratna memutuskan Badik. Karena dia telah bertelanjang padaku. Akulah satu-satunya teman karibnya, sejak lima tahun lalu. Ratna dan aku senantiasa setia. Aku setia mendengar semua ceritanya, dia setia membantuku dalam segala rupa. Membantu mengerjakan tugas-tugas kuliah, membantu menyelesaikan skripsi, membantu membayar tunggakan SPP dan mencarikanku seorang atau dua orang lelaki. Katanya, “Pacaranlah, kau akan merasakan nikmatnya.” Dan karena kusuka dia, tentu kumaui apa maunya.

Budi Arwana, Joe Hutagalung, Simon dan Ketut. Semuanya bubar dengan baik-baik. Semuanya beringsut satu demi satu. Aku tahu penyebabnya. Pertama, satu pun diantaranya tak kuminati. Secara biologis ataupun psikologis. Kedua, semua itu kulakukan demi menyenangkan dan membahagiakan Ratna. Dan ke tiga, agar dia tak curiga padaku. Hanya itu.

Siapapun di dunia ini, jika dia normal pasti kagum padanya. Setidak-tidaknya akan suka melihat wajahnya. Itu pasti. Aku sangat mengagumi rambutnya yang hitam berkilauan kalau tertimpa cahaya. Kulitnya kuning langsat, ditumbuhi bulu-bulu halus yang rebah tidur teratur di kulitnya yang halus. Satu lagi matanya itu cantik sekali, seolah-olah selalu digenangi air. Intinya hanya satu, setiap apapun yang keluar dari mulutnya akan kusimpan dan kupelihara dalam-dalam.

Tentu Ratna sangat senang bercerita. Dan mataku akan lekat-lekat menatap matanya. Katanya suatu kali, barang siapa yang berbicara berhadap-hadapan dengan saling menatap mata, pastilah ia dapat dipercaya. Aku tak tahu mengapa dia percaya benar dengan teori tatap mata itu. Sejujurnya, sekali lagi aku mengagumi mata indahnya. Sejujurnya aku selalu dapat menahan selera dengannya.

“Nihyang….ayolah naik ! Mengapa lama benar…” Badik berteriak kuat sekali. Gaungnya memenuhi udara. Aku terkejut dibuatnya. Aku gelisah mengingat Ratna. Mengingat surat-suratnya yang berkisah tentang Badik. Ya benar, Badik memang seorang pemuja kebebasan. Bukankah itu yang dicari setiap orang. Siapa yang mau dipenjara ? Semua mau bebas, lepas dari ikatan, lepas dari jeratan. Saat ini pun aku ingin lepas dari ikatan tali-tali yang mengikat tubuhku ini. Termasuk bebas lepas mencintai Badik sekaligus Ratna.

Kakiku masih terasa kebas. Perlahan-lahan kucoba menggerakkannya. Ternyata bisa ! Ya aku telah menggerakkannya. Jantungku berdebar. Aku akan sampai di tanah datar, tanah kenangan itu. Tanah yang mempertemukanku dengan laki-laki bernama Badik. Tanah yang mengingatkanku pada Ratna.

* * * *

10 Februari 1999

Warna langit terlihat merah di ufuk barat. Bola raksasa itu perlahan dengan kekuatannya turun ke balik bukit. Senja pun berubah menjadi malam. Dari jarak 15 meter, kulihat Badik menyentuh pundak Ratna dari belakang. Aku masih diam tak beranjak menghampiri mereka.

Aku bergelut dengan mantel dan hawa dingin di dalam tenda. Kulihat mulut Simon terbuka pasrah. Dia kelihatan letih benar. Ini kali pertama baginya mendaki gunung. Jalan yang kami tempuh melalui rute normal, tidak merangkak dari dasar tebing. Itu tentu tak kami lakukan, sebab kami tak mau Simon menjadi almarhum.

Aku membiarkan Simon tidur sendiri. Aku tak berhasrat memeluknya untuk mengibaskan cemas. Entahlah, aku tak ingin cemas ini hanya tunggal di dada. Oh, cemasnya aku melihat mereka di ujung sana. Mungkin dikiranya aku tidur bersama Simon. Tapi mereka keliru. Aku tak bisa memejamkan mata sedikitpun, walau letih sangat terasa.

Aku masih tetap cemas. Tak lama, kulangkahkan kaki mendekati mereka. Tanpa permisi, aku duduk dekat Ratna. Dia menatapku dan tersenyum. Senyumnya manis sekali. Aku menatap mata Badik, dia juga tersenyum manis sekali.

“Kau belum tidur ?” Tanyanya. Aku menggeleng.

“Sedang apa di sini ?” Tanyaku mengusir cemas.

“Tak ada. Hanya duduk.” Jawabnya.

Ratna menarik tangan kananku lalu menelusupkannya dilipatan tangan. Ia mendekap kuat dengan tubuh menggigil kedinginan. Lamban kuraba tangannya, terasa begitu lembut. Hatiku tergetarku menahan selera. Cepat kucari tatap mata lelaki di sebelahnya. Dia tak melihatku. Badik membelai rambutnya.

“Aku ingin minum teh.” Ratna berkata pelan.

Ingin kuambil di tenda, tapi Badik terlebih dulu mewujudkannya. Segera saat itu kutatap lekat mata Ratna. Nafasku tertahan dibuatnya.

“Kau sangat cantik, Ratna.” Kataku akhirnya dengan plong.

Dia tersenyum dan mencubit tanganku dengan manja. Jantungku makin kuat debarannya. Secepat itu kupeluk dia seolah mengusir dingin. Terus makin erat kupeluk dia. Tak lama, kusentuh wajahnya. Tak terasa kulumat perlahan bibirnya. Ratna diam terperangah. Celanaku basah tak terkira.

* * *

“Nihyang, ayo cepat….!” terdengar olehku suara. Sepertinya aku kenal. Tapi rasa nikmat itu. Tak mau ku diganggu. Dan aku pun melayang di udara. Indah, sungguh indah. Wajah Ratna yang cantik, senyum Badik yang manis ada dipelupuk mata.

“Nihyang…” suara-suara masih kudengar. Tapi aku tetap melayang di udara.

Oktober 2003 - 16 April 2004


No comments: